Claustrophobia

18 2 0
                                    

Assalamu'alaikum...

Cerita dengan judul baru, selamat membaca ✨

.

.

.

"Semua penyakit ada obatnya, kecuali satu, maut."

—Journal
Karya Ani Efendi

✨✨

Tragedi yang menyisakan luka begitu dalam kembali membawanya pada diagnosa dokter, Claustrophobia salah satu jenis fobia berada di dalam ruangan sempit, tertutup dan terasa sesak. Sudah 8 tahun belakangan ini Haura mengalami ketakutan berlebihan akibat dari kejadian yang menyisakan luka mendalam.

Kejadian dalam ruangan laboratorium membawanya pada masa itu lagi, kepedihan yang membuatnya mempunyai ketakutan di dalam ruangan tertutup, meski 8 tahun dari kejadian itu berlalu tetap saja waktu seakan berjalan mundur membawanya mengingat hal menyakitkan yang pernah ia alami. Bagaimana tidak, ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat kedua orang tuanya berada di detik-detik terakhir kehidupannya.

"Ura, orang yang mengantarmu mau pamit pulang." Areta membuka pintu kamar, menyembulkan kepala dari balik pintu. Namun seseorang yang berada dalam kamar masih belum memberikan respon. Pandangannya tampak kosong meski dari tadi orang di sampingnya mengoceh memecahkan keheningan, tetap saja Haura tidak menanggapi, bahkan seperti raga saja yang duduk bersandar tapi pikirannya entah kemana, berkeliaran.

Areta menengok pria di belakangnya, pria itu tersenyum. "Tidak usah Mbak, saya langsung pulang aja. Sampaikan saja sama Haura kalau kondisinya tidak memungkinkan untuk pergi ke kampus tidak masalah, perkara test besok, bisa diatur," ucapnya tersenyum. Areta mengangguk "Kalau begitu, saya pamit pulang." Althaf menuruni tangga diikuti Areta yang mengantarnya sampai ruang tamu, di sana sudah ada Hanif yang lagi-lagi mengucapkan terima kasih.

Tidak bisa dipikirkan jika tidak ada orang yang menolong adik satu-satunya itu, bagaimana keadaan Haura sekarang. Bertahun-tahun dia berusaha untuk membuat adiknya lupa, segala cara sudah di coba, mulai dari dibawa ke dokter, sampai melakukan psikoterapi, tetap saja tidak bisa menyembuhkan secara total. Dibalik itu Hanif tetap bersyukur, karena satu tahun belakangan ini Haura jarang mengalami kejadian buruk lagi, beda halnya sebelum ia melakukan psikoterapi. Tidur sendiri dalam kamar saja membuat ia menjerit ketakutan.

"Haura..." Nisa menyentuh pundaknya dengan begitu gadis itu sadar dan menoleh. "Tadi kak Althaf pamit untuk pulang, Mbak Areta yang memberitahu tadi," ucap Nisa.

Nisa berada di sampingnya karena tadi selepas pulang ia menerima telpon dari Althaf, tidak ada pilihan lain selain menghubungi dirinya karena yang Althaf tahu Nisa adalah teman dekat Haura. Althaf menghubungi Nisa menggunakan ponsel Haura agar segera menyusulnya ke kampus. Beruntungnya kost yang dihuni Nisa tidak jauh dari kampus, membuat gadis itu lebih cepat sampai. Althaf tidak menghubungi keluarga Haura karena menjaga agar mereka tidak kelewat cemas, lagi pula ia bisa mengantarnya dengan panduan jalan dari Nisa. Haura dibawa menggunakan taksi dengan ditemani Nisa, sedangkan Althaf memilih menaiki motor Nisa mengikuti dari belakang.

"Dek ..." Hanif masuk ke kamar Haura dengan raut muka masih penuh kecemasan.

Gadis itu menoleh, Hanif duduk di sisi ranjang, sedangkan Nisa berdiri untuk keluar kamar, memberikan waktu berdua kakak beradik itu, begitu juga Areta yang memilih mengikuti Nisa sekadar melihat Alisha yang tertidur di sofa depan televisi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JournalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang