1. Hujan Musim Kemarau

1.3K 60 23
                                    

Selasa tanggal tiga Agustus adalah siang terpanas sepanjang minggu.

Waktu itu sedang diadakan Ospek, pengenalan kehidupan Perguruan Tinggi. Sebagai anggota Mahasiswa Pencinta Alam tahun ke dua, aku dan teman-teman mengadakan atraksi paling keren, yaitu mengibarkan bendera terbesar yang pernah ada.

Puncak acara paling dinantikan. Momen paling dramatis. Atraksi paling keren.

Di atas gedung, keempat anggota Mapala pemberani itu turun dengan seutas tali kernmantle. Posisinya vertikal dengan kepala di bawah. Tegak lurus dengan tanah.

Lagu kebangsaan mengumandang. Perlahan-lahan bendera sepanjang 25 x 15 meter turun dari puncak gedung. Bendera sedikit demi sedikit terbentang. Ukurannya yang dahsyat langsung menarik perhatian.

Semua orang berdiri memberi hormat. Dalam hati mereka terbakar rasa patriotnya. Tumbuh jiwa nasionalisnya. Di luar pagar kampus, warga membanjiri trotoar menyaksikan momen mendebarkan itu.

Kami menguasai seluruh gedung.

Dadaku bergemuruh menyaksikan teman-teman seperjuangan bergelantungan di hadapan ribuan pasang mata. Semua orang tegang. Dalam satu tarikan napas, seluruh bendera terkibar. Keempat petugas pengibar menjejak tanah. Semua penonton bersorak. Seluruh badan gedung bagian depan diselubungi bendera. Berkibar-kibar bagai gelombang. Megah dan keramat.

Pukul sebelas, lapangan kembali sepi. Teman-teman yang bertugas naik adalah Mark, Pete, Tin dan Ae. Mereka berempat akan menurunkan bendera dan membereskan peralatan di atap gedung.

Udara kering berhembus di sekeliling kami menciptakan pusaran angin kecil. Debu-debu terangkat. Tiba-tiba dari arah timur lapangan terdengar teriakan.

"Tolong...!!"

Kami menoleh. Dalam dua detakan jantung kami sadar telah terjadi musibah. Kami berlarian menuju arah suara.

Sesosok pemuda berkaus biru telah terkapar di sudut halaman gedung. Rambutnya kecoklatan. Celana hitamnya sedikit kebesaran. Sosok itu sangat familiar.

"Tin jatuh!!!"

Aku melihat Tin terbaring miring. Hidung dan mulutnya ringsek berdarah-darah. Dia jatuh dari atap.

Kerongkongannya berkedut mengeluarkan suara tersedak-sedak yang ganjil. Matanya menatap nyalang. Sorot mata itu penuh permohonan untuk mengakhiri waktu.

Dia kesakitan.

Wajah pasi itu menunjukkan ekspresi yang dirasakan seseorang ketika nasibnya telah pasti.

Tin menggelepar dan mendengus-dengus. Darah muncrat-muncrat dari mulutnya. Ia merenggut rerumputan. Tangannya menggapai-gapai udara. Semua tertangkap lensa mataku.

Waktu bagiku telah berhenti di bawah naungan cemara pada siang yang panas hari itu. Semua bergerak lambat. Suara-suara menjauh. Mulutku kering. Napasku tercekat di paru-paru. Aku berharap pingsan, tapi tidak terjadi.

"Tolong!"

"Can! Jangan berdiri saja, cari bantuan!"

"Panggil ambulans! Cepat!!"

Lalu hening. Sirine ambulans menjauh.

.

.

.

Aku jatuh dari sepotong awan yang berkilau-kilau. Mengambang di atas permukaan rumput yang sejuk di kulit. Warna merah kuning partikel di udara berenang-renang lambat seperti serbuk bunga yang terperangkap.

Aku menatap ke atas. Langit gelap dan sinar matahari memberkas lurus di sela-sela pohon bambu. Lebah madu menggumam. Serangga-serangga kuning muda itu berdengung. Sayap-sayap kecil mereka memantulkan sinar matahari. Aku mengulurkan tangan. Seolah aku bisa menangkap cahaya itu.

Lenganku terasa perih. Aku bangkit dan melihat genangan darah. Udara dingin mengepungku. Jantungku bertalu-talu.

Tiba-tiba semua orang menjadi sangat sibuk. Ada yang menjerit, sesenggukan, ada yang berteriak memanggil ambulans, yang lain berhamburan. Bisa kudengar napas mereka yang tersengal-sengal. Aku seperti bangun dari mimpi.

"Mark, Pete, Ae! Turun!! Semuanya turun!"

Aku tersedak-sedak berpegangan pada ranting cemara di tempat kejadian. Entah berapa lama aku berdiri di situ. Hanya menarik napas. Di depan hidungku, hidup mati seseorang sedang dipertaruhkan.

Mobil ambulans milik kampus datang beberapa menit kemudian. Tin diangkut ke dalam. Ketika sirine sayup-sayup menjauh, aku jatuh.

"Dia akan baik-baik saja..."

Aku menggumamkan kalimat itu berulang-ulang bagai mantra. Berharap bahwa dengan mengatakannya, itulah yang akan terjadi.

.

.

.

Hari itu, hujan deras mengguyur pada siang musim kemarau. Siang yang tadinya panas berdebu-debu dalam sekejap muram dan basah. Alam sedang menyampaikan belasungkawa.

Di dalam aula yang kulihat hanya airmata. Semua tertelan rasa sedih yang sama.

Aku menarik napas dan membuat janji untuk diriku sendiri. Kalau Tin bertahan, kalau dia berhasil melewati masa kritis dan pulih kembali, aku akan menjadi teman yang paling baik. Aku akan jadi Can yang lebih berani, lebih percaya diri, lebih berprestasi dan lebih populer daripada aku yang sekarang.

Kalau aku masih diberi kesempatan bersama Tin, aku akan menjadi teman terhebat yang bisa diandalkan. Tapi berita itu muncul. Tegas dan cepat.

"Saudara kita, Tin Medthanan, telah mendahului kita semua menghadap Tuhan yang maha Esa."

Semua orang menangis meraung-raung. Beberapa sisanya keluar aula, menangis di kamar mandi.

Aku tersenggak-senggak tidak bisa bernapas. Ingatan demi ingatan gentayangan seperti hantu. Tin tidak istimewa, dia hanyalah anak yang riang dan usil, dia itu bobrok. Jika ada yang bagus darinya itu hanya wajah tampan dan isi kepala saja. Tidak lebih. Atau itulah yang ingin kupercayai.

Berbagai emosi meletup-letup seperti kembang api dalam gelas.

Sekarang sudah tidak penting lagi apa yang kujanjikan. Tidak penting lagi akan jadi sehebat apa diriku nanti. Tidak penting lagi. Tin terbaring diam di dalam peti. Wajah tampannya tidak berguna lagi.

Tin sudah meninggal.

Musibah itu merubah sebagian pandanganku tentang takdir. Sesuatu yang mutlak dan telah digariskan pada jalan hidup seseorang sifatnya pasti. Tapi kepastian itu kadang tidak dapat diterima begitu saja.

Aku keluar aula menembus gerimis. Wajahku tengadah ke lubang gelap bernama langit.

Kita yang merencanakan, kita yang menentukan. Kita yang mencengkeram takdir kita sendiri. Tuhan tidak ada sangkut pautnya. Tuhan tidak patut dipersalahkan. Tuhan bukan kambing hitam atas rencana yang gagal kita tentukan.

.

.

.

END









Tribute to my dear best friend, L, yang kematiannya meninggalkan lubang gelap kosong di hati kami semua.






May 21, 2021

TORMENT • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang