Sorrow • Part 1

229 37 10
                                    

Plan membuka matanya. Cahaya kekuningan lampu di nakas membuat kamar itu remang-remang. Ia menatap langit-langit putih apartemen yang sangat dikenalnya. Suara detik jam dinding terdengar keras di telinga. Pukul tiga dini hari.

Perlahan ia duduk hanya untuk merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Plan mendesah.

Jari-jari lentiknya mencengkeram selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Ia menyandarkan dagu ke lutut. Matanya menatap dinding dengan nanar.

Ia tidak sendirian di kamar itu. Di sampingnya seorang laki-laki tertidur pulas. Ia membelakangi Plan. Sementara wajahnya tersembunyi di bantal. Punggungnya bergerak naik turun seiring napas yang tenang dan teratur.

Plan menatap punggung telanjang itu. Rambutnya basah oleh keringat, kulitnya mengkilat, menandakan jejak percintaan mereka beberapa saat lalu.

Plan mengangkat tangan membelai rambut tebal laki-laki di sebelahnya. Ia tersenyum tipis.

Caranya menatap laki-laki itu jelas menunjukkan betapa Plan mencintainya. Begitu cinta sampai nyaris gila. Tapi senyum itu pudar segera setelah pandangan Plan mendarat ke nakas, tempat di mana lampu tidur dan sebuah bingkai foto berada.

Plan menatap foto itu, lalu menatap laki-laki di sampingnya. Meski hanya sebuah gambar, tapi mampu mengirimkan rasa nyeri di dadanya.

Bingkainya berwarna putih, polos, terkesan simple dan elegan.

Seorang perempuan dalam balutan gaun putih bergaris halus, tersenyum bahagia. Matanya berbinar. Ia memiliki senyum paling ceria yang pernah Plan lihat. Rambutnya panjang kecoklatan, kulitnya cerah dengan tubuh berlekuk.

Di sampingnya berdiri seorang laki-laki tampan. Dengan background pantai berombak menjelang senja. Ia tersenyum lebar ke arah kamera. Rambut gelapnya jatuh ke dahi tertiup angin. Ia merangkul pinggang perempuan itu dan satu tangan memegang perut buncitnya.

Perempuan itu sedang mengandung enam bulan.

Itu adalah foto sempurna dari calon orangtua yang bahagia. Begitu bahagia hingga terasa bagai mimpi.

Plan bertanya-tanya apakah pria di foto itu benar-benar lelaki yang saat ini berada di sampingnya? Lelaki yang kini tidur di sebelahnya itu tidak pernah menunjukkan senyum seperti itu lagi. Tidak sekalipun bahkan kepadanya.

Plan mengusap kepala pria di sampingnya lembut.

"Mean... Jatuh cintalah padaku." Plan berbisik.

"Kumohon, sekali lagi jatuh cinta padaku na..."

Plan terisak dalam gelap. Matanya berkabut. Putus asa, ia menatap dinding kosong.

"Dia tidak akan kembali. Sekarang aku yang berada di sini..."

.

.

.

Siang itu suasana kafetaria di lantai bawah studio lebih ramai dari biasanya. Di jam makan seperti ini, orang-orang bergerak dinamis, menyelesaikan urusan masing-masing untuk kembali melanjutkan pekerjaan.

Dibandingkan duduk bergerombol, Plan lebih suka mengambil satu tempat di sudut kafetaria.

"Oiiii! Ngelamunin apaan sih phi!?"

Perth berteriak tepat di depan wajahnya. Plan tersentak kaget dari pikiran apapun yang menggelayutinya akhir-akhir ini. Ia membalas dengan tatapan kesal.

"Ya ampuun... Sejak phi Plan kembali bersama phi Mean, kamu kelihatan semakin kacau. Bukankah seharusnya phi terlihat glowing, bersinar-sinar, bahagia? Apa-apaan ini, phi terlihat lecek." Perth selalu melontarkan apa yang ada di kepalanya dengan blak-blakan.

TORMENT • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang