Forgotten • Part 1

139 25 68
                                    

"Lihat, gue bahkan nggak bisa ngaduk kopi sendiri. Dohhh!" gerutu Tin di dapur sendirian.

Dia sedang menyendok bubuk kopi dan gula tapi berceceran di meja konter. Toplesnya belum tertutup sempurna. Air yang mendidih di teko tumpah separo.

Tin menggunakan tangan kirinya yang baik-baik saja untuk mengelap meja. Tangan kanannya yang masih dibalut gips tidak banyak berfungsi.

Ia kerepotan saat harus mencuci peralatan bekas sarapan. Dengan kesal ia menumpuknya di tempat cuci.

Bunyi bel mengalihkan perhatiannya dari kekacauan yang ia sebabkan di dapur. Tin mendesah. Siapa yang datang sepagi ini. Jika itu Ae editornya, ia akan mengusirnya sekarang juga.

Tin membenarkan celana jinsnya tapi tetap melorot sampai pinggul jadi ia mengabaikannya. Bukan hanya tidak bisa membuat kopi, ia juga tidak bisa memakai baju sendiri.

Tin membuka pintu dengan tangan kiri.

Ia mengangkat kedua alisnya saat melihat seorang anak remaja berdiri cangggung di depan apartemennya.

"Siapa lo?"

Anak itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Namaku Can. Umm... dr. Pete menyuruhku ke sini untuk jadi asisten sementara." sahut Can.

Entah cuma perasaan Tin atau Can memang merona.

"Gue nggak mempekerjakan anak di bawah umur."

Can mengerjap kaget. Tapi tatapan matanya kemudian berubah sedih.

"Tapi aku bukan anak-anak..."

Tin memperhatikannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Can itu kecil mungil, terlihat ringkih dan nggak becus melakukan pekerjaan domestik. Seharusnya Pete mengirim seseorang yang lebih kuat dan bisa diandalkan.

"Tunggu bentar, gue tanyain Pete. Siapa tau lo penipu atau psikopet norak kayak di tipi-tipi."

Tin membanting pintunya tepat di hadapan Can. Ia langsung menyambar ponselnya.

"Halo Tin," sapa suara di seberang.

"Oii Pete.... "

"Eh asisten baru lo udah nyampe!?" sambar Pete. "Gimana setelah ketemu?" Ia terdengar harap-harap cemas.

"Jadi beneran lo yang ngirim dia? Siapa namanya, Can? Bisa nggak sih lo kirim orang yang lebih setrong? Lihat bentukannya kayak abege kurang nutrisi gitu kasian gue. Mana bisa dia ngerjain semuanya di sini? Termasuk bersih-bersih dan ngetikin naskah gue lho ini."

Pete terdiam di seberang sana. Beberapa saat kemudian ia berkata lembut.

"Tin, gue tahu lo butuh orang yang lebih mumpuni buat bantu-bantu kerjaan lo. Cedera tangan dan kepala lo belum pulih dan lo harus cek terus ke rumah sakit. Harus ada yang beresin apartemen, belanja, nganter cek up." Pete melanjutkan.

"Can itu bisa segalanya kok Tin. Dia bisa nyetir kalo lo perlu ke RS, dia bisa masak, bersih-bersih, anaknya bisa dipercaya deh."

"Tapi Pete..."

"Lo jangan khawatir, gaji dia separo gue yang tanggung. Pokoknya terima Can jadi asisten lo. Udah ya, gue ada kencan ama editor lo. Bye. Mwahh!"

Tin bengong di ruang tengah apartemennya. Pusing. Tanpa sadar ia meraba kepalanya yang masih dibebat perban. Kenapa Pete ngotot sampe mau paroan bayarin gaji asisten macam Can. Tapi daripada nggak ada yang bantuin, lumayanlah.

Ia kembali ke pintu dan mendapati Can masih berdiri diam di sana.

"Masuk." perintahnya.

Can masuk dan meletakkan sepatunya di rak. Ia melepas hoodie lalu menggantungnya di sebelah jaket Tin.

TORMENT • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang