Sorrow • Part 2

212 39 25
                                    

Hari berlalu dalam sekelebatan mata. Sore menjadi petang. Malam merambat membawa hawa dingin di bawah naungan bintang.

Mean benar-benar menikmati waktunya bersama Dream karena jam menunjukkan pukul sembilan malam saat ia pulang ke apartemennya.

Aroma masakan menguar di udara saat ia masuk ke ruang tengah.

Mean langsung menuju dapur. Kosong. Ia menghembuskan napas lelah.

"Sudah kuduga.."

Meja konter tempat mereka biasa makan belum ditata. Ada sesuatu mendidih di dalam panci. Perkakas kotor bekas masak teronggok di tempat cuci.

Mean mematikan kompor. Ia mengangkat panci mendidih dan meletakkannya di konter.

"Plan?"

Tidak ada sahutan.

Perlahan Mean berjalan ke kamar. Ia bisa melihat pintunya terbuka. Cahaya redup dari lampu meja menerobos keluar.

Mean sudah hampir melabrak Plan kenapa dia meninggalkan kompornya menyala di dapur jika ia berada di kamar. Tapi sebelum mengucapkan sepatah kata, Mean mendapati dirinya mematung di pintu. Kalimatnya tertahan di tenggorokan.

Plan tengah duduk di sisi ranjang memunggunginya. Bahunya yang kurus bergetar. Sebuah isakan lirih terdengar, disusul isakan berikutnya.

Ini bukan pertama kali Mean memergoki Plan sedang menangis, tapi tetap saja ia merasa sesuatu menyayat hatinya.

"Apa yang harus kulakukan..?" Plan berbisik lemah. "Dia pasti akan marah."

Ia terlihat sedang memperbaiki sesuatu yang rusak tapi gagal.

Mean menatap benda yang dipegang Plan di atas pangkuannya. Bingkai putih dimana foto dirinya bersama Dream yang hamil anak mereka telah hancur. Kacanya pecah berkeping-keping. Lembaran foto di dalamnya terdistorsi dalam cara yang aneh. Seperti puzzle yang tidak cocok.

Plan terlonjak. "Oh sial, supnya!"

Ia memutar kepala ke arah pintu dan mendapati wajah datar Mean menatap bingkai hancur di tangannya. Plan mencengkeram bingkai itu erat-erat di dadanya. Begitu erat sampai tangannya terluka.

"Mean, kamu sudah pulang? Ini... A..aku nggak sengaja. Sungguh."

Plan tidak menyadari Mean sudah menghambur masuk ke dalam kamar.

Mean menarik bingkai yang hancur itu, hanya untuk disuguhi kedua tangan Plan yang berlumuran darah. Plan terkesiap. Dia tidak tahu sejak kapan pecahan kacanya melukai tangannya. Ia bahkan tidak merasakan apa-apa.

Darah menetes di lantai, menodai marmer putih itu dengan titik-titik merah gelap.

Mean mengertakkan gigi. Matanya tajam menatap foto, lalu menatap tangan Plan yang tergores pecahan kaca.

Satu lagi luka.

Plan tidak bisa membaca apa yang sedang Mean pikirkan.

"Aku tadi sedang mengganti sprei, dan nggak sengaja menyenggolnya. Maafkan aku..."

Ada kilatan tidak biasa di mata Mean saat menatap foto itu kemudian beralih padanya. Itu membuat Plan ketakutan.

"A... Aku akan mengganti bingkainya." Plan tercekat.

"Plan, kita harus bicara." Mean berkata dengan tenang, lalu duduk di samping Plan.

Jadi, inilah akhirnya.

Plan merasakan dingin merayap di tulang punggungnya. Mulutnya terasa kering.

Ini adalah akhir mimpi sepihaknya. Mimpi itu tidak pernah bisa menjadi nyata bahkan sejak pertama kali Plan mencoba.

TORMENT • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang