4. Serangan Kenangan

79 21 17
                                    

Yang selalu tertinggal dari setiap perjumpaan adalah kenangan. Karena pada akhirnya, semua yang prnah dimulai akan berakhir.

***

"Miss Aila ngomong sama siapa, sih, dari tadi?"

Aila dan Dimas menatap tajam ke arah siswa yang tadi bertanya ke Aila. Siswi itu tampak bingung, berkali-kali matanya bergeser dari Aila ke Dimas. Terus begitu, hingga akhirnya Aila buka suara. "Sama Mister ini." Aila menunjuk ke arah Dimas.

"Enggak ada siapa-siapa di situ, Miss."

Pelipis Aila berkerut. Tangannya tergerak menghapus jejak-jejak linangan di kedua belah pipinya. Gadis itu menatap Dimas dengan bingung lalu menatap muridnya dengan tajam. "Kesha, Miss emang sering banget ngerjain kamu. Tapi ini enggak lucu. Orang segede gaban begini kamu bilang enggak ada. Itu enggak sopan, loh."

"Tapi, Miss, memang enggak ada orang di situ." Gadis belasan tahun itu bergerak ke arah Dimas dan begitu saja, tubuh Kesha berdiri tepat di tempat Dimas berdiri. Wajahnya tampak menyembul dari dada Dimas, membuat tubuh Aila bergetar seketika.

Dimas melihat gadis yang dipanggil Kesha oleh Aila lalu menghela napasnya. Dia menggaruk kepalanya yang tidak bisa merasai apa-apa. Ditatapnya Aila—yang kini memandangnya ngeri—dengan tatapan canggung. Dia meringis, tidak tahu harus berkata apa.

"Ka, kamu ...."

Dimas mengangguk, dengan mimik muka meringis dan tangan yang terangkat yang jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf 'V', lalu berkata, "Hantu."

"A, ha, ha, enggak lucu, Dim." Tatapan mata Aila langsung menuju pada Kesha. "Kesha, kamu langsung ke kelas, ya. Bilang sama teman-teman kamu, Miss hari ini enggak masuk, nanti Pak Bob bakal gantiin Miss ke kelas."

"Yaaah, Miss, jangan, dong. Pak Bob, kan galak Miss."

"Miss ada yang perlu diurusin dulu. Besok, Miss cek, loh, ya, tugas yang kemarin itu, awas kalau enggak dikerjain."

Kesha mendesah pelan. Dia lalu menatap Aila dan berkata, "Janji, ya, Miss. Besok masuk?"

Aila mengangguk pelan, seulas senyum terbentuk di bibirnya.

Dimas menatap wajah keibuan Aila dan tersenyum. Dulu, senyum itu, senyum keibuan itulah yang membuat Dimas jatuh cinta. Dimas dan Aila bertemu saat mereka masih SMP. Tiga tahun mereka bukan hanya ada di SMP yang sama tapi juga di kelas yang sama. Menghabiskan waktu berlomba untuk mendapat nilai tertinggi. Dimas ingat, prioritas mereka saat itu adalah mencapai prestasi setinggi-tingginya, hingga akhirnya perasaan itu muncul.

"Dim ...."

Dimas tersadar dari bayangannya, matanya langsung menatap Aila. "Hem?"

"Kamu, itu, kapan?" Aila tampak kebingungan bertanya pada Dimas. Jarinya menunjuk ke sembarangan arah di tubuh Dimas, naik ke atas, lalu ke bawah, lalu ke atas lagi, lalu turun kembali ke sisi tubuhnya.

"Gimana kalau ngomongnya di taman belakang? Kalau di sini, nanti siswa-siswa kamu malah mikir kamu gila."

Aila mengangguk.

Mereka melangkah menuju taman belakang sekolah. Sebenarnya, tempat ini tidak cocok juga disebut sebagai taman belakang. Ini lebih ke pelataran parkir yang akhirnya tidak digunakan karena sekolah memutuskan membangun tempat parkir sungguhan di bagian depan gerbang. Seiring waktu, tumbuhan, lumut, dan pohon tumbuh besar, membuat tempat ini terlihat seperti taman.

Dulu, waktu Dimas dan Aila masuk ke sekolah dan menemukan tempat ini, Aila memutuskan untuk menanam beberapa jenis tanaman hias yang bibitnya entah dia dapat dari mana dan memaksa Dimas untuk membantunya. Katanya, biar tempat ini bisa jadi tempat bersejarah untuk mereka berdua hingga tua.

[TERBIT] Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang