3. Tolong, Siapa Saja, Dengarkan Aku!

72 22 16
                                    


Dunia ini sering tidak masuk akal. Satu hal bisa saja membahagiakanmu, membawamu ke surga, dan selanjutnya membawamu jatuh ke neraka.

***

"Jangan sentuh aku, Dim."

Dimas terkejut mendengar jawaban Aila. Sejak menjadi arwah, baru kali ini ada yang bisa meresponsnya. Biasanya, jangankan menjawab perkataannya, tersentuh tangannya saja tidak bisa.

Bergegas Dimas menyentuh pipi Aila. Gadis itu membelalakkan mata melihat tangan Dimas yang mendekat. Begitu tangan Dimas benar-benar bisa menyentuh gadis itu, seketika memelototlah Dimas. Aku bisa menyentuhnya?

Gadis itu memelototkan matanya menatap tajam ke arah Dimas yang masih takjub dengan kejadian barusan. Aila mendengkus kasar lalu berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan Dimas. Rok span yang dikenakannya bergerak mengikuti gerak tubuh gadis itu, seirama dengan entakan kasar sepatu pantofel di kakinya

"Ai, basonya belum habis."

"Bodo amat. Udah enggak selera lagi setelah ngelihat kamu."

Dia bisa mendengarku?

Dimas memelototkan matanya lagi, kembali takjub dengan jawaban yang diberikan gadis itu padanya. Dia menatap tangannya dengan pandangan yang mengabur, seperti akan menangis tapi tidak ada air mata yang keluar dari sana.

Pertama kalinya, setelah dinyatakan meninggal dia kembali merasa hidup.

"Aila, tungguin!" Tergopoh-gopoh Dimas mengejar Aila. Meski sudah tidak punya tubuh, bukan berarti Dimas bisa berteleportasi layaknya hantu-hantu atau roh halus yang dulu sering dia tonton bersama Rina. Dia tetap harus menggunakan kakinya untuk mengejar Aila yang semakin menjauh.

Aila terus bergerak menuju ruang guru. Tampak berusaha setengah mati mengabaikan keberadaan Dimas yang terus mengikutinya. Langkahnya besar-besar, rok sepan selutut yang dia kenakan naik beberapa senti dari tempat yang seharusnya. Berkali-kali dengusan terdengar dari hidungnya.

"Aila, tungguin bentar kenapa, sih? Buru-buru amat?" oceh Dimas begitu bisa menyenyajarkan langkahnya dengan Aila.

"Aku mau ngajar, Dim."

"Oh, sekarang kamu jadi Bu Guru, ya? Guru apa? Guru fisika, guru PKN, atau," Dimas terlihat berpikir sesaat, kakinya tetap melangkah menyejajari Aila. Tak berapa lama, dia melompat ke depan gadis itu sambil setengah berteriak, membuat Aila terhenyak, "aku tahu! Kamu pasti jadi guru bahasa Indonesia, kan? Dulu kayaknya kamu pernah bilang mau jadi guru bahasa Indonesia."

Gadis itu menatap Dimas dengan mimik wajah yang tidak bisa diprediksi. Dia menatap Dimas dari atas sampai bawah, membuat Dimas mau tidak mau ikut memperhatikan dirinya sendiri.

"Ada yang salah?" tanya Dimas pada Aila sambil memperhatikan satu persatu bagian tubuhnya yang sudah tidak berdaging itu. "Masih sama seperti yang kamu ingat dulu, kan? Masih tampan."

Aila tersenyum sinis sebelum mengeluarkan suara 'cih' dari mulutnya. Dia memutar bola matanya lalu melanjutkan langkahnya yang tadi tertunda oleh lompatan Dimas yang tiba-tiba.

"Eh!" Dimas berteriak lagi. "Ada apa denganku? Kenapa ngelihatin aku segitunya?"

Yang diajak bicara masih menolak untuk merespons semua perkataan Dimas. Aila mengambil tumpukan buku yang ada di meja pojok dekat jendela yang menghadap ke lapangan.

"Loh, Ai, ini kelas kita dulu?" ucap Dimas sambil menatap sekeliling ruangan. Ruangan ini lebih besar dari yang dia ingat. Kelas ini dulu menjadi saksi hubungan sembunyi-sembunyi yang dia lakukan dengan Aila. "Digabung sama kelas sebelah, ya, biar besar?"

Aila hanya mendeham mengiakan perkataan Dimas. Tanpa menjawab apa pun, Aila bergerak ke luar ruangan. Meninggalkan Dimas yang tiba-tiba teringat sesuatu, meja tempat Aila mengambil buku tadi adalah meja yang dia tempati dulu.

Dimas tersenyum sejenak. Dari semua hal buruk yang dialaminya selama dua puluh empat jam terakhir, dari semua hal tidak menyenangkan yang harus dilihatnya semalam suntuk, dari semua ratapan dan tangisan yang terngiang di telinganya non-stop, mengetahui ada yang mengingatnya dan menjaga kenangan manis bersamanya membuat kesuraman yang dia alami satu hari ke belakang sirna sesaat. Hatinya menghangat.

Pelan, arah pandangan Dimas berpindah ke Aila yang sudah ada di ambang pintu, senyum terkembang di wajah Dimas. Gadis itu berhenti tepat satu langkah lagi tubuhnya hilang bingkai pintu. Kepalanya menoleh menatap Dimas. "Dim, ayok keluar. Nanti kalau ada yang hilang, aku kena masalah karena kenal kamu."

Senyum Dimas yang tadi sempat terkembang langsung hilang, beganti dengan dagunya yang jatuh, membuat bibirnya membentuk huruf 'O' sempurna. Dimas menatap Aila yang masih menunggunya, wajah gadis itu dengan keningnya yang mengkerut dan gerakan wajahnya yang seperti orang terkena sawan, seolah-olah mengatakan 'Tunggu apa lagi? Buruan!' pada Dimas. Dimas menggelengkan kepalanya dua kali untuk menyadarkan dirinya, lalu bergerak ke arah Aila.

"Nih mantan enggak ada romantis-romantisnya. Aku lagi nostalgia juga, dia malah ngira mau maling. Lagian, hantu mana yang bisa maling, sih," omel Dimas dalam hatinya. Begitu sudah di depan Aila, gadis itu kembali berjalan dan memberi kode untuk Dimas juga keluar. Dimas berjalan kembali mengekori Aila, lalu teringat sesuatu. "Ada, deng. Tuyul juga hantu," ocehnya dalam hati.

Mereka berjalan bersisian. Sesekali murid-murid Aila menatap bingung ke arah mereka. Dimas tidak menghiraukannya. Saat ini, Dimas merasa bahagia, setidaknya ada satu orang yang bisa melihatnya dan dia ajak bicara. Meski hanya satu, itu memberikan kecerahan di hati Dimas yang sendu sejak kematiannya.

"Satu orang yang mendengarku saja sudah cukup," batin Dimas ikut bersuara. Dia tersenyum. Rasa hangat menyebar cepat ke hatinya.

"Sial amat, sih, hari ini mesti ketemu sama mantan," ucap Aila tiba-tiba membuyarkan rasa hangat yang sempat menyebar di hati Dimas.

"Tapi kamu seneng, kan?" ucap Dimas berusaha melindungi hatinya. Dia berusaha tersenyum. Berusaha sekuat tenaga menggenggam kehangatan yang tersisa di hatinya.

Aila kini sudah berhenti melangkah. Tubuhnya menghadap ke Dimas dengan pandangan mata yang menuntut penjelasan. Tangannya bersedekap di dada, tampak berusaha mengabaikan pandangan aneh orang-orang di sekitarnya. "Kamu, tuh, ngapain, sih, Dim, datang ke sini?"

Senyum di bibir Dimas mulai meredup. Matanya yang tadi sempat berbinar, perlahan kehilangan sinarnya. Dengan lesu dia menjawab Aila, "Udah lama banget loh Ai, kita enggak ngobrol. Enggak ketemu."

"Udah bagus kamu enggak muncul lagi sepuluh tahun ini."

Harapan yang sempat bisa dia genggam, kembali menghilang. Berganti dengan dingin yang kelam dan menenggelamkan, menyesakkan, membuatnya kembali kehilangan napas. "Aku cuma ...."

"Aku butuh waktu lama biar bisa kayak gini, loh, Dim. Untuk bisa baik-baik saja. Untuk bisa berfungsi kembali secara normal." Air mata Aila terlihat mulai berjatuhan. Maskara hitamnya luntur menciptakan jejak linangan di wajahnya yang dipoles bedak tipis. "Kalau kamu kembali kayak gini, aku ...."

"Ai, aku—"

"Miss Aila ngomong sama siapa, sih, dari tadi?"

***

[TERBIT] Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang