Perspektif membuat manusia hidup. Perspektif pula yang membuat manusia mati. Perspektif yang manusia pilih untuk hidupnya akan menjadi sumber kehidupan atau kematian.
***
Selama 27 tahun hidupnya, Dimas tidak pernah memikirkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial.
Pertanyaan seperti siapakah aku? Untuk apa aku hidup? Kenapa aku hidup? Apa tujuanku? Ke mana aku setelah mati? tidak pernah terlintas di benaknya. Dimas selalu menjalani aktifitas dan kehidupannya santai seperti di pantai. Untuknya memikirkan hal-hal tersebut membuang-buang waktu.
Jangankan selama hidup, selama mati pun, dalam waktu tiga puluh jam lebih ini, Dimas tidak pernah memikirkan hal itu. Saat hidup dia terlalu sibuk dengan kehidupannya. Saat mati dia terlalu sibuk dengan ratapan-ratapannya.
Apa pernah pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepalanya? Tentu saja pernah. Siapa yang tidak? Banyak orang-orang iseng yang dengan senang hati melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu. Seolah dengan hidup saja belum cukup berat, mesti ditambah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang setelah terjawab pun tidak bermanfaat.
Tapi, siapa yang peduli? Dimas? Lebih baik dia menghabiskan waktunya bersama Rina. Menganyam mimpi dan masa depan dengan rencana-rencana konkret. Bagi Dimas, hidupnya adalah untuk saat ini saja.
Oleh karena itu, kini, ketika waktu tidak lagi menjadi pengikat kuat, pertanyaan yang dilontarkan Aila membuatnya berpikir keras.
Kenapa aku gentayangan?
Setelah Aila bertanya begitu, Dimas hanya bisa bergeming.
"Hei, Dim?"
Dimas melirik tangan Aila yang melambai-lambaikan tangan di hadapannya.
"Masih, ya? Dari dulu kamu masih aja carefree. Pasti belum pernah kepikiran sama pertanyaan itu."
Dimas mengangguk. "Untuk apa memikirkan pertanyaan kayak gitu? Mending mikirin gimana caranya biar bisa hidup enak, kan?"
"Yah, mungkin buat kamu begitu. Buat orang lain, menjawab pertanyaan itu penting."
"Untuk apa? Itu enggak akan membantu apa-apa."
"Masalahnya sekarang kamu udah mati, Dim. Mana ada orang mati gentayangan."
"Buktinya, aku gentayangan sekarang."
"Artinya, kamu harus mencari tahu kenapa kamu gentayangan," sambung Aila dengan tandas.
"Ngomong, sih, gampang. Tapi caranya gimana?" Dimas mengubah posisinya dari yang tadinya duduk menjadi tiduran. Matanya menerawang ke arah langit luas di atas sana. "Di saat kayak gini, aku jadi mikir, kayaknya hidup lebih enak."
Aila tersenyum sinis pada Dimas. Wanita itu turun dari tahta batunya dan duduk di samping Dimas, ikut menggeletakkan badannya menghadap langit cerah hari itu. "Kalau ngomong suka asal, ya?"
Dimas mengerutkan keningnya, kepalanya menoleh ke arah Aila, tidak mengerti maksud ucapan wanita itu barusan. Kalau dia mengatakan kalimat semacam 'lebih enak mati daripada hidup' Dimas memaklumi kalimat yang keluar dari bibir Aila barusan. Apa yang asal dari mengatakan sebaliknya?
Aila mendengkus pelan lalu menerawang. "Hidupmu enak, Dim. Ongkang-ongkang kaki aja pun semuanya ada, datang tanpa kamu minta."
Ada kegetiran yang terdengar dari suara Aila. "Sepuluh tahun ini, apa yang terjadi padamu, Ai?" bisik Dimas akhirnya tidak tahan dengan rasa penasarannya sendiri.
Tatapan mereka bertemu. Dimas yakin, meski hanya sesaat dia melihat air mata menggenang di mata Aila. Tapi, tiba-tiba mata sendu Aila berubah tajam dan menusuk. Seperti sedang menghunuskan belati pada hati Dimas, membuatnya nelangsa, dan merasa sangat dibenci.
"Kamu tidak perlu tahu." Aila bangkit dari tidurnya, berdiri, dan membersihkan rok sepannya dari kotoran yang menempel. "Sepuluh tahun kamu tidak pernah mencari tahu. Jangan kembali lalu bertanya seolah menjadi orang yang paling peduli."
Itu adalah kalimat terdingin yang pernah Dimas dengar keluar dari bibir seorang Aila. Dimas beranjak duduk dan menatap nanar wanita yang sedang berdiri di hadapannya. Dan, sedingin ucapannya barusan, Aila berbalik meninggalkan Dimas tanpa pamit. Membuat Dimas seketika ingat rasa sepi yang tiba-tiba dia rasakan sepuluh tahun lalu, ketika Aila begitu saja menghilang.
"Aila," teriak Dimas pada punggung wanita yang semakin menjauhinya, membuat wanita itu menghentikan langkahnya dan membuat Dimas melanjutkan kalimatnya yang terhenti, "aku mencarimu. Tapi kamu hilang bak ditelan bumi. Aku ingin menjelaskan semuanya. Tapi kamu enggak ngasih aku kesempatan sekali pun. Lalu, aku harus bagaimana?"
Wanita itu hanya meliriknya dari sudut mata, tidak berbalik sedikit pun. "Kalau kamu tersangka, jangan bertindak seolah jadi korban, Dim. Punya malu dikit lah."
Dimas terhenyak dengan kalimat itu. Tersangka? Seperti itukah dirinya di mata Aila sekarang?
"Lagi pula, tidak ada yang perlu dibersihkan dari air yang sudah jernih, kan?" lanjut Aila lagi dengan tandas dan cadas. "Daripada menggangguku, lebih baik cari tahu kenapa kamu gentayangan. Hidup udah enggak nyusahin, jangan sampe mati malah bikin resah."
Begitu saja, Aila meninggalkan Dimas yang kini kembali nelangsa.
Dimas tertawa, tertawa, tertawa, lalu teriak sekeras-kerasnya. Nestapa kembali merengkuh jiwanya. Dan, pertanyaan Aila kembali terngiang di telinganya.
Kenapa kamu gentayangan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Move On
RomanceCerita sudah terbit di Google Play Books dengan judul yang sama dan penulis Hinata Umi. Jangan lupa dukung secara legal cerita ini, ya :D Dimas sudah mati. Dia mati tepat saat tangannya bersalaman dengan ayah Rina di depan penghulu. Dalam wujudnya...