2. Jiwa yang Hilang

158 33 36
                                    


Semakin kau berusaha mencari jawaban, semakin sulit menemukannya. Ikhtiar. Jalani. Pasrah. Iklas. Jawaban itu akan datang dengan sendirinya.

***

Kemarin, begitu jasadnya terkubur dua meter jauhnya di dalam tanah, Dimas patah arang. Tak ada yang bisa dia lakukan di hadapan batu putih bertuliskan namanya itu. Tidak bisa meredakan tangisan Ibu; tidak bisa melembutkan wajah keras Ayah; juga tidak bisa menyembuhkan hati terluka Rina.

Dimas hanya bisa berdiri mematung, melihat kerumunan pelayat perlahan meninggalkan area pemakaman, meninggalkan ketiga orang yang paling dia cintai di dunia.

Jeri.

Mungkin kata itu yang kini bisa menggambarkan perasaan Dimas sekarang. Dia tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Kenapa dia mati? Kenapa dia hidup? Kenapa dia diambil tepat sesaat sebelum mengucapkan kabul? Kenapa dia harus meninggal begitu muda? Apa yang sebenarnya terjadi?

Dimas menghela napas. Napas? Bahkan kemewahan untuk bernapas pun sekarang tidak dia rasakan lagi. Jadi dia ini apa? Arwah? Hantu? Roh? Untuk apa dia masih di sini?

Dia mati di umur 27 tahun. Umur keemasannya pula. Ada dua perusahaan kecil yang sedang dirintisnya untuk menghidupi kehidupannya dan Rina nanti setelah menikah. Ada sebuah rumah yang sedang dicicilnya, tempat yang ia harapkan jadi surga kecilnya bersama Rina dan anak-anaknya kelak lengkap dengan dua paviliun kecil di samping-sampingnya untuk kedua orang tua mereka nanti kala mereka renta.

Namun, begitu saja. Semuanya menjadi abu.

Kematian tidak mengenal umur. Tidak mengenal kesuksesan. Tidak mengenal rencana-rencana. Jika sudah waktunya, datanglah dia. Tanpa jeda sedikit pun. Tanpa mengenal siapa dia. Pada akhirnya yang mati, ya, diinjak-injak juga.

Lihatlah Dimas kini, dia menjadi arwah, roh, hantu, atau apa pun lah manusia menyebutnya. Dimas sendiri menyebut dirinya jiwa yang hilang.

Jiwa yang hilang? Ya, dia adalah jiwa yang hilang. Tidak punya jasad yang bisa merasai lagi. Tidak punya raga yang bisa menyentuh lagi. Hanya bisa menderita dan terluka melihat orang-orang yang dia sayangi jatuh di kubangan kesedihan.

Sejak kemarin, setelah orang terakhir—tentu saja ibunya dan Rina, yang membuat ayahnya juga di sana—dipaksa meninggalkan pusara dengan ukiran namanya, Dimas melangkah tak tentu arah. Dia hanya mengikuti ke mana kakinya bergerak.

Ikut pulang? Bagaimana mungkin ikut pulang, sedang di sana justru hanya akan membuatnya semakin terpuruk. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari tidak bisa berbuat apa-apa.

Senja berganti malam, malam berganti dini hari, dini hari berganti pagi. Matahari kembali bersinar terang. Tak terasa, kakinya melangkah hingga sampai ke SMA tempat dia dan Rina mendulang kenangan.

Seulas senyum tersungging di bibir Dimas.

"Woi, PR Fisika lo udah kelar?" teriak seorang siswa dari belakang Dimas. Dia berlari hingga sampai di samping siswa yang ada di hadapannya, melewati Dimas begitu saja.

"Ish, nyontek mulu. Ogah, sono cari korban lain. Hari ini, mahakarya gue enggak bakal sampe ke tangan lo!"

Mata Dimas semakin sayu. Dia terhibur dengan tingkah kedua remaja itu. Namun, di saat yang bersamaan, nestapa merasukinya lebih dalam. Dijulurkannya tangan ke arah kedua remaja itu, dan seperti yang sudah-sudah, dia tersungkur.

Pelan kakinya bergerak ke kelas pertama yang ada ada tepat di sebelah gerbang masuk sekolah. Suasana saat itu sungguh ramai. Masih pagi, bel penanda masuk pun belum berbunyi.

Senyum sedikit merekah dari bibirnya. Ini kelas tempat dia dan Rina pertama kali bertemu. Kelas tempat dia menjadi senior dan Rina sebagai siswi yang tengah mengikiti ospek.

Dimas mengingat jelas kejadian demi kejadian di hari itu. Dia sebagai senior pendisiplinan, memanggil Rina yang mengenakan rok di atas lutut. Ukuran rok yang melanggar aturan sekolah, meski kalau boleh jujur, Dimas sangat menyukainya. Itu awal mula ketertarikan Dimas pada Rina.

Sejak saat itu, ada saja kejadian atau kegiatan yang membuatnya harus berurusan dengan Rina. Kegiatan PMR, kegiatan OSIS, hingga kegiatan belajar bersama yang entah kenapa dimintai guru-guru diurusi oleh mereka. Dari situ, benih-benih rasa mulai tumbuh di antara mereka.

Bell tanda masuk sudah berbunyi nyaring. Kaki Dimas bergerak menuju kantin, perlahan melewati lapangan basket. Dimas tidak tahu mengapa dia merasa harus memutari lapangan itu. Dengan tubuhnya yang tembus apa saja seperti ini, seharusnya tidak ada kebutuhan untuk memutar. Suasana lapangan itu kini sepi, siswa-siswi sudah mulai berlarian masuk ke kelasnya masing-masing. Berlarian takut dimarahi oleh guru pelajaran pertama mereka.

Kantin adalah tempat yang bersejarah pula untuk Dimas. Di sana, di depan semua orang dia menyatakan perasaanya pada Rina. Dengan cokelat merek Ratu Perak dan boneka beruang kecil sebagai simbol kesungguhan, Dimas meminta Rina untuk menjadi pacarnya. Teriakan dan sorak sorai penghuni kantin menjadi tanda penerimaan dari Rina atas pernyataan cintanya saat itu.

Padahal, sudah ada gadis lain yang menempati status pacarnya. Gadis yang sama yang kini tengah duduk di tengah kantin, menyendok sepotong baso. Wajahnya memang sedang menunduk menatap layar ponsel di hadapannya, tapi Dimas bisa melihat jelas wajah perempuan itu.

"Aila ...."

Kakinya melangkah mendekat ke arah perempuan itu. Sekali lihat juga siapa pun tahu perempuan itu menjabat sebagai guru tidak tetap di sekolah ini. Umurnya terlalu tua untuk menjadi murid SMA—meski kecantikannya masih sempurna.

Sekolah mereka tidak mengizinkan orang tua masuk ke dalam gerbang sekolah. Namun, kenyataan perempuan itu tidak mengenakan seragam khusus guru tetaplah yang membuat Dimas mengambil kesimpulan demikian. Rok span hitam selutut, kemeja putih yang ujungnya dimasukkan ke dalam rok, serta rambut panjang yang diikat dan disampirkan ke samping, memberikan aura kepercayaan diri yang kuat darinya. Kaca mata berbingkai emas menambah pancaran kelembutan di mata yang dulunya sendu itu.

"Cantik," gumam Dimas tanpa sadar.

Dimas tersenyum, kakinya masih mendekati perempuan yang sedang menyendok baso kuahnya lagi. Setelah tepat di hadapan perempuan itu, Dimas mengambil duduk tepat di seberangnya.

Pelan Dimas berkata, "Kamu tambah cantik, Ai. Kelihatan percaya diri banget. Beda banget sama kamu dulu yang bener-bener penurut."

Gadis itu berhenti menyendok basonya. Dia diam sebentar, tampak berusaha mengambil napas lalu kembali mencoba menyendok basonya.

"Kita pacaran berapa lama, ya, dulu? Tiga tahun, ya? Ya Tuhan, selama itu. Kamu tahu, Ai? Aku sekarang kena karma. Aku dipanggil saat akan melakukan akad." Dimas tertawa mengingat kembali kejadian kemarin.

Entah kenapa, setelah hampir dua puluh empat jam dia tidak berbicara sama sekali kepada siapa pun, di depan gadis ini, perasaan yang dia tahan perlahan mencair, berubah menjadi sebuah cerita. Ada rasa ingin mengadu yang muncul begitu melihat wajah mantan pacarnya itu.

"Aku takut, Ai. Mereka semua menangis. Tapi aku tidak bisa." Dimas terus saja bercerita. Dia tahu, seperti orang lain yag dia coba ajak bicara sejak kemarin, Aila pun tidak akan bisa merespons perkataannya. Boro-boro merespons, mendengarnya pun tidak.

"Ai...." Tangannya terjulur hendak menyentuh wajah Aila.

"Jangan sentuh gue, Dim."

Dan, begitu saja, mereka berdua kini saling menatap. Tidak berbicara.

***

[TERBIT] Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang