'Manusia' hanyalah sebuah kata. Kita lah yang memberikan definisi padanya.
***
"La ... mau, ya?"
Aila menggelengkan kepalanya. "So, we use 'it' to call an animal. Mirip saat kita bilang kucing dengan kata 'itu'."
"Miss, kalau manggil pacar pakai 'it' boleh enggak Miss?"
"Waw, Miss punya murid dengan fetish hewan?" Aila tersenyum sambil menyentuhkan telunjuknya ke hidung muridnya itu. Si murid tampak mengerti dengan istilah itu dan tersenyum masam.
"Astaga Aila?! Mereka masih SMA," pekik Dimas tepat di telinga gadis itu, membuatnya menghindar sebentar, sedikit mengucek kupingnya.
"Miss, kalau manggil mantan boleh pake 'it' juga?" tanya siswi lainnya dengan nada menyindir. Mata gadis itu tampak melirik ke siswa cowok yang ada di sebelahnya. Yang diliriki menggumamkan kata 'childish'.
Aila melirik ke Dimas yang tengah meliriknya.
"Well, karena secara teknis aku bukan manusia, kamu bisa pake 'it' untuk memanggilku."
Aila mendengkus halus sebelum melanjutkan bahan ajarnya. "We can't, Sandra. Kecuali kamu udah enggak menganggap 'mantan' kamu sebagai manusia. And, it's not polite too."
"Miss, kita ngapain belajar ginian lagi, sih? Ini, kan, pelajaran SD," rutuk salah satu siswi yang duduk di kursi paling depan.
"Karena kamu belum ngajak teman kamu memanggil pacarnya dengan sebutan 'he', 'sweetheart', atau 'honey'," ucap Aila mengedipkan sebelah matanya.
Teman-temannya langsung tertawa terbahak-bahak, membuat siswi yang tadi bertanya berbalik kembali fokus ke bukunya sendiri. Aila melanjutkan pelajarannya hari itu dengan celotehan-celotehan riang dari murid-muridnya. Mereka bukan murid-murid yang pintar, tapi mereka ceria, murid-murid yang sedikit banyak mengobati Aila dari rasa sakitnya sendiri.
"So, bukan guru Bahasa Indonesia, tapi guru Bahasa Inggris?" tanya Dimas akhirnya ketika mereka ada di mobil Aila. "Dan, Aila dengan mobil Ayla, nice try."
"Dim, sebentar aja, bisa enggak, sih, kamu tuh diam. Pusing tahu enggak seharian dengar kamu berisik mulu."
"Kamu tahu cara membuatku diam, La."
"Ya Tuhan, Dimas. Kamu dulu enggak seberisik ini." Aila menjalankan mesin mobilnya. "Dan, ngapain kamu ikut ke mobilku?"
"Aku akan mengikutimu kemana pun. Sampai kamu bilang 'iya'."
"Dim, apa yang membuatmu berpikir aku akan mau membantu?"
Dimas menatap Aila dalam. "Manusia?"
"Kamu tahu aku dari dulu tidak mudah membantu orang lain, Dim."
"Sekarang kamu guru. Kamu tidak akan menjadi seorang guru kalau kamu tidak memiliki rasa kemanusiaan."
"Karena aku manusia, Dimas. Manusia mana yang mau membantu selingkuhan pacarnya?"
Hantu bertubuh tinggi itu mematung di tempatnya duduk. Aila benar, manusia mana yang sanggup membantu orang yang telah menyakitinya sebegitunya?
***
Sejak pertanyaan Aila itu, Dimas mengunci mulutnya. Dia tetap duduk di kursi samping Aila. Dia mengikuti ke mana mobil itu berjalan. Tapi, dia tidak lagi berbicara.
Dimas tahu, rasa sakit yang dia torehkan pada gadis itu besar. Apapun alasannya pindah ke Bali dulu, pasti ada hubungannya dengan Diams dan Rina. Dan, Aila benar, meminta Aila menolong Rina adalah sebuah kebodohan. Bagaimana mungkin Aila menolong gadis yang merebut pacarnya di depan mata? Terlebih yang meminta bantuan adalah Dimas, pacar yang berkhianat dan direbut oleh gadis yang akan dia tolong. Mustahil.
Dimas sudah gila.
Seharusnya, setelah dulu dia memutuskan meninggalkan Aila dan mengajak Rina pacaran, dia juga ikut mengubur ingatannya tentang guru muda di sampingnya.
Masalahnya sekarang, bukan siapa yang telah menyakiti siapa. Namun nyawa manusia. Dimas tidak bisa melepas Rina begitu saja setelah apa yang dilihatnya kemarin. Apalagi setelah mengingat janji yang tidak dapat dia tepati itu. Dasar manusia, selalu saja mengucapkan janji yang tidak bisa ditepati, rutuk Dimas pada dirinya sendiri.
"Jangan ikuti aku. Aku mau istirahat," ucap Aila tiba-tiba dengan nada tegas. "Please, setidaknya biarkan aku di rumah bisa mikir."
Dimas mengangguk. "Boleh aku di sini? Setidaknya mobilmu lebih baik untuk dipake mikir daripada kuburanku sendiri."
"Terserah, jangan dibawa lari aja."
"Hahaha, lucu."
Begitu saja, Aila meninggalkan Dimas di mobil. Mobil Aila memang kecil. Tapi untuk saat ini, mobil kecil ini sangat berguna bagi Dimas untuk menjernihkan pikirannya.
"Ma, Aila Ma."
Dimas melirik ke arah pintu masuk, ada seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu. Tanpa sadar Dimas tersenyum. "Tante Lika ...."
"Kamu udah makan?"
Aila menggeleng.
"Kamu pulang sama siapa? Tadi Mama dengar kamu ngobrol sama ...."
"Enggak ada, Ma."
Bu Lika mendengkus sebentar. "Mama kira itu tadi pacar kamu."
"Ma, jangan bahas, pretty please? Aila capek banget."
"Kamu ini, apa sih salahnya Mama khawatir? Sejak pindah ke Bali, kamu enggak pernah dekat sama satu cowok pun. Kamu kira mama enggak khawatir?"
"Ma, harus kita ngomongin ini di depan rumah begini?"
"Cowok terakhir yang dekat denganmu Dimas sama Mike. Itu pun setelah pindah kalian seperti tidak pernah berteman."
"Ma ...."
"Jadilah anak baik, carilah pasangan, lepasin Mama dari ghibahan para tetangga."
"Ma ...."
"Mama capek Aila, tiap hari harus dengerin tetangga bilang kamu lesbian. Enggak tertarik sama cowok—"
"Ma ... tolong."
"Apa ini gara-gara Mama? Gara-gara Papa? Karena kami kamu ...."
"Ma ...."
"Mama akan cari Dimas atau Mike, atau siapa saja, setidaknya biar kamu enggak lagi diomongin orang, La."
"Ma! Mama enggak pernah tahu, apa yang pria-pria itu telah torehkan dalam hidup Aila. Mama enggak pernah mau tahu."
"Aila, Mama ...."
"Ma! Aila tidak akan berdiri di dalam sangkar pria mana pun, lagi." Aila menatap mamanya dengan air mata yang turun saling mengejar. "Sangkar yang dulu diciptakan Dimas, sangkar yang dulu diciptakan Papa, sangkar yang berusaha diciptakan Mike, Aila ... enggak akan lagi mau masuk ke dalam sangkar-sangkar itu." Aila menghapus air matanya, lalu masuk ke dalam rumah.
Dari mobil, Dimas mendengar dengan jelas pertengkaran ibu dan anak itu. Dimas mematung di sana. Hari ini, Dimas sadar satu hal, dia tidak tahu apa-apa tentang Aila.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Move On
RomanceCerita sudah terbit di Google Play Books dengan judul yang sama dan penulis Hinata Umi. Jangan lupa dukung secara legal cerita ini, ya :D Dimas sudah mati. Dia mati tepat saat tangannya bersalaman dengan ayah Rina di depan penghulu. Dalam wujudnya...