Manusia untuk bisa pulang harus terlepas dari dunianya. Ketika dia mati, ketidakikhlasan akan menjadi pintu penghalang untuknya bisa kembali.
***
Ada banyak hal yang terjadi pada Dimas sepuluh tahun ini. Hubungannya dengan Rina memang semakin dekat. Mereka bahagia dari hari ke hari. Mereka belajar bersama, kuliah di tempat yang sama, bekerja di kantor yang bersebelahan, bisa makan siang bersama setiap hari.
Hidup Dimas tepat seperti perkataan Aila.
Sempurna.
Dimas tidak pernah merasakan susah. Apa yang dia mau selalu didapatkannya. Dia mau sekolah, dia mendapatkan sekolah. Dia mau dekat dengan Aila, dia mendapatkan Aila. Dia mau nilai yang bagus, dia mendapatkan nilai yang bagus. Dia mau orang tua yang baik hati, dia mendapatkan orang tua yang baik hati. Dia mau pekerjaan dengan gaji yang layak, dia mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Dia mau membangun perusahaan, dia berhasil membangun perusahaan.
Dia mau pacar yang penurut, Aila menjadi pacar yang penurut.
Karena itu, ketika Aila mati-matian berusaha menyembunyikan hubungan mereka dari semua orang, Dimas marah bukan main. Dia tidak mengerti. Bukankah semua gadis ingin mempublikasikan hubungannya dengan pasangan mereka? Kenapa Aila tidak?
Karena itu pula, ketika secara terang-terangan Rina menunjukkan ketertarikan padanya, Dimas merasa begitu bahagia. Berkali-kali kalimat seperti 'seperti ini harusnya orang yang berpacaran itu', 'harusnya aku dan Aila bisa semesra ini', atau 'Aila itu milikku, seharusnya dia tidak boleh ngobrol sama cowok lain' berulang kali berputar di kepalanya. Menghipnotisnya perlahan hingga dia muak sendiri dengan hubungan backstreet yang dia jalani bersama Aila.
Awalnya, Dimas hanya bermain-main dengan Rina. Dia hanya ingin merasakan dicintai dengan benar oleh seorang gadis, tidak pernah berniat benar-benar meninggalkan Aila. Dia hanya ingin melihat sorot cemburu di mata Aila ketika melihatnya dekat dengan gadis lain.
Tapi Aila begitu lurus, begitu penurut. Apa pun yang Dimas lakukan padanya, meski itu menyakiti hati gadis itu, diterimanya begitu saja. Tanpa mengeluh, tanpa bersuara. Aila seperti boneka yang dicucuk hidungnya. Dibawa ke laut untuk tenggelam pun sepertinya dia akan menurut saja. Mati di sana.
Dimas ingat suatu kali, dengan pura-pura tidak sengaja, dia menjatuhkan surat cinta yang diberikan Rina di depan Aila. Dia ingin melihat reaksi Aila. Dia ingin mengatakan pada Aila, begini, loh, jadinya kalau kita backstreet. Siapa aja bisa mendekati kita karena mereka enggak tahu kita pacaran. Dimas benar-benar berharap dengan melihat surat itu, Aila berubah pikiran dan meresmikan hubungan mereka. Bukannya publikasi yang didapat Dimas, Aila malah mengambil surat itu, melipatnya kembali, dan memberikan surat itu ke Dimas. Tanpa berkata apa-apa, Aila tersenyum lalu melanjutkan kegiatannya. Seolah surat itu tidak berarti apa-apa.
Dimas muak.
Setidak berharga itu, kah, Dimas di mata Aila?
Saat itulah, Dimas memutuskan untuk menikmati apa pun yang Rina berikan untuknya. Awalnya perhatian-perhatian kecil. Lambat laun Dimas bukan hanya menikmati tapi juga membalas perlakuan Rina.
Suatu hari Rina datang ke kelas Aila dan Dimas. Saat itu, mereka tengah mengerjakan PR bersama. Rina datang dan langsung saja bergerak ke tempat Dimas.
"Kak Dimas, Aku beliin cokelat buat Kakak." Rina meletakkan cokelat itu di atas meja dan pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban apa-apa dari Dimas.
Saat itu, Dimas kira Aila akan bereaksi. Tapi tidak. Aila hanya menatap cokelat itu, tersenyum lalu berkata, "Makan, gih, cokelatnya. Kayaknya enak." Dan, lanjut mengerjakan PR.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Move On
Roman d'amourCerita sudah terbit di Google Play Books dengan judul yang sama dan penulis Hinata Umi. Jangan lupa dukung secara legal cerita ini, ya :D Dimas sudah mati. Dia mati tepat saat tangannya bersalaman dengan ayah Rina di depan penghulu. Dalam wujudnya...