Prolog

110 11 6
                                    



Sore itu Egi tergopoh-gopoh di koridor. Tangannya susah payah memeluk setumpuk buku paket yang baru dibagikan sekolah. Seharusnya buku-buku itu berada di tasnya untuk ditanggung sang punggung. Tetapi dia tidak beruntung hari ini karena entah bagaimana bisa tasnya jebol. Atau lebih tepatnya dijebol orang lain, sebab ada bekas sayatan di sisi bawahnya.

Padahal ini baru minggu-minggu awal dia berada di sekolah itu, namun lingkungannya tidak berubah. Masih saja tak ramah. Bisa dilihat dari bagaimana orang-orang memandangnya dengan tatapan remeh, juga bagaimana mereka membicarakannya setelah dia lewat.

Egi tidak tahu alasan dibalik semua itu. Entah karena ada teman satu SMPnya yang sejak dulu tidak menyukainya, atau ada kakak kelasnya dulu yang suka merundung, atau sejak mereka tahu jika Egi berteman dengan Jaler dan Daru, dua pemuda dari jurusan TKRO yang sudah mencuri perhatian dari hari pertama masuk sekolah. Atau bisa jadi karena memang dia pantas diperlakukan seperti itu.

Memikirkannya membuat Egi pening sendiri, lalu tak memperhatikan jalan hingga bahunya menabrak bahu seseorang. Buku-buku di tangannya terjatuh.

"Maaf banget, gue nggak sengaja," katanya tanpa berani mendongak. Sebab jika dia menatap mata orang itu, Egi tahu bakal mendapat masalah.

Orang yang dia tabrak itu berdecak. "Makanya jalan tuh liat-liat!"

Egi sadar dari dasinya jika orang yang dia tabrak itu satu tingat di atasnya. Laki-laki lagi. Sumpah ya Egi malas banget kalau harus berurusan dengan kakak kelas. "Maaf, Kak."

"Punya mata nggak sih, lo?!" kakak kelasnya itu membentak lagi, kemudian dilanjut dengan tawa remeh. "Eh nggak punya mata, ding."

Egi membenci ketika orang lain membahas fisiknya. Apalagi ketika kakak kelasnya itu memanggil beberapa temannya. Siap melucuti dirinya dengan banyak kata.

"Eh Rin, dia punya mata nggak sih?" Laki-laki tadi bertanya pada salah satu teman perempuannya.

"Nggak tuh, lihat aja matanya cuma segaris."

Yang disahuti temannya yang lain, "Ada ya orang kaya dia? Udah muka biasa masih caper ke orang-orang."

Egi hanya menghela napas, mencoba mengenyahkan semua suara-suara itu dari telinganya. Yang ternyata mustahil, karena suara-suara itu terlalu keras.

"Eh gue baru sadar loh dia nggak punya alis."

"Lihat tuh bibirnya kaya dibotox nggak sih?"

"Apaan tuh tai lalat di mana-mana, mau saingan sama jerawat?"

Lalu masih banyak pembicaraan lain perihal fisiknya. Tinggi yang pas-pasan, rambut cokelat gelap yang katanya kebakar matahari, kulitnya yang sawo matang, tubuhnya yang agak berisi, dan hal lain yang sudah biasa Egi dengar. Bahwa segalanya yang dia punya adalah definisi ketidaksempurnaan.

Detik itu juga Egi ingin menghilang. Lenyap dari peradaban. Karena bagaimana pun dia berusaha, segalanya akan terlihat rendah untuk orang lain.

Lantas ketika dia ingin berlari secepatnya untuk pergi dari sana, seseorang merangkulnya. Menghentikan suara-suara sumbang yang tadi dia dengar.

"Kok lama banget sih? Aku tungguin kamu dari tadi." Suara itu menyentaknya. "Beb?"

Egi menoleh, untuk menemukan sosok berambut ikal sedang menatapnya. Sorot matanya hangat, lengkap dengan senyum lebar.

"Dikta?" Suara Karin, salah satu kakak kelas yang tadi mengata-ngatainya menyentak Egi.

"Oy," Dari jarak sedekat itu Egi bisa melihat bagaimana sosok yang merangkulnya sedang tersenyum tengil.

Felicity | ON HOLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang