"Dikta! Lo liat hoodie ping gue nggak?"
Pagi itu Dikta dibangungkan oleh suara Bang Ajun. Laki-laki itu mengintip di pintu, menengok pada Dikta yang baru saja beringsut untuk mengumpulkan kesadaran.
"Liat nggak?" ulangnya lagi. Kali ini sambil masuk ke ruangan yang jadi tempat Dikta tidur.
Dikta mengucek matanya. Melirik pada Bang Ajun yang mulai menyisir sisi ruangan dengan matanya. "Nggak tuh."
Bang Ajun terlihat memanyunkan bibirnya. "Masa nggak ada yang liat sih?"
"Ya mana gue tau," tanggap Dikta tak acuh, sebelum menendang sisi atas tempat tidur yang ditempati Damian. "Lo liat hoodie Bang Ajun nggak, Dam?"
Yang hanya dijawab umpatan oleh Damian. Merasa terganggu, pasalnya laki-laki itu baru saja tertidur akibat melembur tugas sampai subuh.
Dikta juga tidak peduli. Kembali merebahkan diri, lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Mengabaikan Bang Ajun yang kelabakan mencari hoodienya.
Namun baru saja dia menutup mata, getaran ponsel di nakas menginterupsi. Membuatnya mengumpat tanpa suara. Lantas dengan terpaksa mengulurkan tangan, mengambil ponselnya.
Dikta melihat layar ponsel yang memperlihatkan panggilan dari nomor yang dia namai Mama. Tidak perlu waktu lama untuk Dikta menggeser ikon hijau ke atas.
"Halo?"
"Dikta, ini Mama."
"Iya aku tahu. Tumben Mama nelpon. Lagi nggak sibuk emangnya?"
Dikta mendengar helaan napas dari seberang sana. "Ini Mama mau berangkat ke rumah sakit, tadi ada panggilan mendesak. Cuma mama inget belum nanya sama kamu, uang jajan bulan ini masih ada?"
Kadang Dikta berharap Mama tidak hanya menanyakan itu. Melainkan tentang kabarnya, bagaimana dia melewati hari kemarin, atau setidaknya menanyakan apakah Dikta sudah makan atau belum. Tapi Mama tidak pernah melakukan itu. Maka Dikta hanya tersenyum getir. "Masih, kok Ma. Kemarin baru dikirim Papa."
"Syukurlah kalau gitu, soalnya Papa nggak bilang kalau sudah ngirim uang jajan kamu."
"Iya." Dikta hanya menanggapi begitu. Tapi kemudian dia menyadari sesuatu. "Ma?"
"Ya?"
"Apa kabar?"
"Baik, Mama sama Papa baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba nanya begitu, hmm?"
Dikta kangen. Tapi laki-laki itu tidak mengatakannya. Membiarkan dua kata itu ditelan oleh dirinya sendiri.
"Kamu mau minta apa, nanti Mama belikan?"
Kalau waktu, mama bisa ngasih nggak? Dikta hanya menghela napas. Merasa mustahil sekali. "Dikta nggak lagi pengin apa-apa."
"Beneran?"
"Iya."
"Ya udah ya, Mama tutup dulu telponnya. Mama buru-buru soalnya."
Lalu begitu saja. Dikta hanya mendengus kesal ketika mendengar suara tut-tut-tut pada ponselnya, menandakan bahwa panggilan mereka sudah diakhiri.
Laki-laki itu mengembalikan ponselnya ke nakas. Kemudian beranjak dari kasur untuk ke luar dari kamar. Di ruang tengah rumah Bang Yunus itu sudah ada beberapa orang. Ada Bang Cio yang sedang memasak sarapan, Bang Ajun yang duduk di depan televisi menonton berita-laki-laki itu sudah memakai hoodie pingnya, Bang Yunus yang sudah sibuk merevisi skripsi meski masih terlalu pagi, juga Bang Januar yang baru ke luar kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Felicity | ON HOLD
Tienerfictie"You only need to find a definition of happiness, not a definition of perfection." Treasure Kim Doyoung//2021