Splendid

4.8K 708 148
                                    

[ Just to be readtomorrow, so this page won't disturb your Saturday ]




"Zooming through the night air like she was doing now, but with his warm arms to hold on to and the entire world at their feet. They could have gone anywhere they wanted."Liz Braswell


Jakarta, Maret 2019

Mataku menatap lurus pantulan diriku sendiri di depan kaca meja rias kamarku setelah sejak satu jam yang lalu aku berias dan memastikan berkali-kali pakaianku karena aku bingung sekali lebih baik berpenampilan seperti apa malam ini. Semalam aku dan Re terhubung dalam sambungan telepon setelah sebelumnya panggilan pertama darinya tidak aku jawab sebab aku masih bersama dengan Kala yang juga kini tahu kalau aku dan Re berteman, lelaki itu bertanya apa aku sudah menemukan pemberiannya berupa tiket konser orkestra La La Land di Ciputra theater dan apa aku bersedia untuk menerima ajakannya karena jika jawabanku adalah iya maka dia akan menjemputku selepas Magrib nanti. Sebenar-benarnya adalah aku sangat-sangat bingung kemarin apa aku harus tetap ikut dengannya atau tidak, tapi lagi, kalaupun menolak tak ada alasan pasti untukku tidak menerima ajakannya. Aku suka film itu meskipun aku harus menontonnya ulang, tapi ditonton ulang dengan live music orchestra, kapan lagi? Jadilah aku menyetujui ajakan itu dan hanya berbincang sebentar mengenai dari mana dia tahu kalau film satu itu dijadikan live orchestra sampai bisa mendapatkan tiketnya yang aku ketahui jawabannya bahwa sebelum aku mengatakan kalau aku menyukai film itu, Re sudah tahu soal informasi live orchestra itu dari salah seorang temannya, berhubung Re yang infonya adalah salah satu penggemar Emma Stone dan sudah jelas pasti dia menonton film itu juga.

Aku akhirnya memilih gaun merah dengan lipatan simetris dari garis leher sampai celah sisi depan dengan sebuah belt berwarna dan berbahan scuba yang sama. Menatap dengan pasti pantulan diriku sekali lagi di depan sana, dress sepanjang lutut ini memiliki belahan cukup tinggi di sisi paha kiriku, hampir setengah paha kupikir tapi tak begitu terlihat terbuka kecuali aku berjalan atau duduk, sudah pasti belahan ini semakin terlihat. Sejak tadi aku hanya memastikan belahan ini, apa aku terlihat seperti akan menggoda Re? Tapi setelah berpikir panjang sejak siang tadi memang gaun ini lah yang terlihat paling cocok untuk ada di dalam gedung teater orkestra dengan warna merah yang pas menurutku. Sebelumnya tadi aku mencapai pada dua pilihan, gaun ini atau gaun sweetheart neckline berwarna kuning seperti gaun yang Mia pakai di dalam film La La Land, dan gaun merah ini lebih baik dibanding gaun kuning itu dengan area dada yang terbuka. Setelah berdecak berkali-kali dan memiringkan kepala untuk meyakinkan aku kalau ini sudah baik dan tak berlebihan, bahkan make-up-ku pun saja aku buat minimalis dengan lipstik berwarna sama merahnya untuk menyamai warna dress-ku ini, aku cukup berpenampilan baik dan tidak akan membuat Re malu—setidaknya.

Untuk rambuku, aku buat sedikit bergelombang tadi agar tidak monoton dan sedikit berisi, kini aku sedang mememilih beberapa jepit rambut dari dalam kotak berwarna emas yang aku ambil di laci meja rias ketika bell pintuku berbunyi dan mataku seketika berpindah lagi ke arah pantulan diriku. Itu pasti Re yang datang.

Tanpa meletakkan kotak jepit rambutku, aku berjalan cepat ke arah pintu padahal orang di depan sana hanya menekan bell satu kali yang terlihat tidak terburu-buru untuk dibukakan pintu. Memegang handle pintu sambil menarik napas panjang sebelum membukanya, aku langsung menemukan sosok Re yang berdiri dengan sangat tampan setelah pintu terbuka, wajahnya yang sudah terpasang senyuman manis terlihat bersinar—apa efek dari air wudhu salat Magrib-nya? Mataku sepertinya belum berkedip sampai ketika aku sadar dari binar pesona Re malam ini.

Tell No Tales | CompletedWhere stories live. Discover now