Akad📍

273 11 1
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Jihan Alfahira Idris binti Almarhum Muhammad Aidi Idris dengan mas kawinnya tersebut di bayar tunai."

Jihan, gadis itu meneteskan air matanya. Semua yang menyaksikan akad nikah mengucapkan sah, itu artinya Jihan sudah resmi menjadi istri dari Fano.

"Selamat sayang," Arum—Mamah Fano memeluk tubuh Jihan yang menangis, kedua perempuan itu sama-sama menangis sekarang.

"Ayo ke bawah, semua orang sudah menunggu," ucap Zia—Kakak ipar Jihan.

Jihan berdiri, Arum menghapus air mata Jihan, lalu setelahnya mereka berdua berjalan keluar dari kamar bernuansa purple ini.

Semua mata kini menatap ke arah tiga perempuan berbeda umur yang sedang menuruni tangga. Jihan hanya menunduk, mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdetak dengan cepat dari biasanya. Perasaanya saat ini tentu saja sangat campur aduk, takut, sedih, kacau—rasanya begitu berantakan.

Arum dan Zia membawa Jihan untuk duduk samping Fano. Perempuan yang memakai gaun panjang berwarna putih itu menerima uluran tangan yang disodorkan oleh suaminya, Jihan mencium punggung Fano dengan lembut, yang dibalas Fano dengan mencium keningnya.

Dua cincin white gold, yang menjadi bukti ikatan sah keduanya, terlihat cantik dan elegan. Dengan desain yang simpel, jika kedua cincin itu di satukan maka akan membentuk lengkungan hati.

Acara akad, hanya di hadiri keluarga inti kedua mempelai. Acara yang serba dadakan membuat acara ini berlangsung dengan sederhana, tidak ada hiasan pelaminan, kerabat, sahabat dan orang-orang yang dikenal untuk ikut menghadiri acara—lagipula pernikahan ini memang berniat tidak di publikasikan.

"Jangan pernah membuat Ana menangis, sekali saja saya lihat kamu membuatnya menangis, jangan harap kamu bisa hidup tenang Fano!" Arya menatap tajam lelaki yang sudah menjadi adik iparnya sekarang. "Sudah cukup kamu merenggut masa remaja Ana!" lanjut Arya.

"Mas, sudah ini sudah malam, biarkan Fano istirahat," ucap Zia, menenangkan suaminya yang memang terlihat begitu sangat marah. Merangkul lengan Arya, dan mengajaknya untuk pergi dari dapur, meninggalkan Fano sendirian yang masih duduk di kursi bar.

Kedua tangannya menutup wajahnya, lalu mengusapnya kasar. Fano menuangkan air putih ke dalam gelas, lalu meneguknya sampai habis. Setelahnya, dia berjalan keluar dari dapur, dan menaiki tangga untuk menuju ke kamar. Saat sudah berhadapan dengan pintu bercat putih di depannya, ada sebuah gantungan pintu dengan warna purple bertuliskan; 'Kalo mau masuk kamar Ana, harus senyum dulu, gak boleh marah-marah.'

Fano menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah lengkungan indah, membaca tulisan di depan pintu kamar Jihan. Padahal itu hanya sebuah tulisan, tapi Fano seperti bisa mendengar kalimat ditulisan itu secara langsung dari mulut Jihan sendiri.

Fano menghela napasnya, perlahan tangannya membuka kenop pintu. Wangi khas Jihan langsung tercium di indra penciuman Fano, kamar bernuansa purple ini terlihat manis, banyak hiasan, foto-foto, dan sticker yang di tempel di dinding.

Fano berjalan menghampiri kasur, yang di atasnya sudah ada Jihan yang sudah menutup seluruh tubuhnya dengan selimut hingga sebatas dagu.

Fano dan Jihan saling menatap, terlihat jika Jihan masih takut, menatap Fano was-was.

"Aku tidur di sofa," ucap Fano, lalu mengambil bantal dan berjalan menuju sofa yang ada di kamar itu.

Fano mencoba memejamkan matanya, namun dia tidak bisa, lampu di kamar Jihan menyala. Fano tahu, jika Jihan tidak akan pernah bisa tidur dalam keadaan lampu mati. Sedangkan Fano dia bisa tidur jika dalam keadaan lampu mati.

Fano terus menerus mengubah posisi tidurnya, namun tetap saja tidak bisa tidur, lelaki itu  bangun dari baringannya, lalu dia keluar kamar perlahan. Setelah sebelumnya dia mengambil rokok dan pemantiknya di dalam koper. Lelaki itu membawa langkahnya kembali menuruni tangga, dan memilih untuk mendudukan bokongnya di kursi besi yang ada di tepi kolam renang.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu malam, angin dingin menusuk kulit Fano, namun dia masih tetap tidak pergi, seolah-olah angin dingin itu menemani Fano malam ini.

"Fan, udah dong ngerokonya, udah habis berapa batang coba?" ucap Zia, yang sudah berdiri di hadapan Fano.

Fano sedikit terperanjat kaget karena kehadiran Zia. Lelaki itu mengangguk pelan, menuruti perkataan Kakak iparnya yang menyuruhnya untuk berhenti merokok.

Zia tersnyum setelahnya. "Sudah, masuk kamar dan istirahat sekarang. Ini sudah jam berapa sekarang, Fan? Pasti kamu lelah kan karena acara tadi?"

Fano hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Iya, Kak, nanti Fano ke kamar."

Setelah mendapat jawaban dari Fano, Zia berjalan kembali masuk ke dalam rumah dan langsung menemui Jihan yang sedari tadi berdiri di dekan pintu menuju halaman samping rumah.

"Sudah," ucap Zia.

"Makasih Kak," ucap Jihan

"Sana, tidur lagi!" titah Zia.

Jihan mengangguk. Tadi dia terbangun dari tidurnya karena ingin buang air kecil. Saat melihat ke sofa, tidak ada Fano di sana, hanya ada bantalnya. Jihan mencoba mengecek kamar mandi, dan tidak ada siapapun di sana. Jihan keluar kamar, setelah selesai buang air kecil.

Fano sedang duduk di kursi besi yang ada di tepi kolam. Jihan menemukan Fano di sana. Jihan sebenarnya ingin menegur Fano saat dia kembali mengapit rokoknya di bibir, namun Jihan hanya bisa berdiri menatap di balik pintu kaca.

Zia, kakak ipar Jihan baru saja akan ke dapur mengambil minum, tapi menemukan Jihan yang sedang berdiri di dekat pintu halaman. Dan ya... pada akhirnya Jihan meminta Zia untuk memperingati Fano agar berhenti merokok.

Jihan sudah kembali berbaring di kasurnya, Fano, laki-laki itu juga sudah berbaring di sofa.

Keduanya menatap langit-langit kamar, bayangan malam itu seolah-olah sedang ditayangkan di langit-langit kamar.

Keduanya menerawang jauh, mengingat malam itu... Malam yang membuat mereka sampai ada di titik seperti sekarang ini.

Tiga minggu yang lalu ....

••♡♡••

Semoga suka dengan cerita ini❤️🤗

My Ex, My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang