Tatapan Jihan kosong, matanya sembab, hidung dan pipinya memerah, juga bibirnya pucat pasi.
Jihan sudah seperti mayat hidup.
"Ana, makan dulu yah!" titah Zia.
Jihan menggeleng, lalu dia memeluk Zia erat.
"Ana mau ketemu Bunda sama Ayah, Kak," lirih Jihan.
"Bunda, dan Ayah sudah tenang di sana Ana." Zia mengusap rambut Jihan.
Jatuhnya salah satu pesawat, memberikan duka mendalam kepada Indonesia, terlebih kepada keluarga para korban.
Idris-- Ayah Jihan, dan Ila-- Bunda Jihan, rencananya mereka akan pulang, tapi yang Jihan tau mereka akan pulang hari ini.
Kedua orang tua Jihan berniat memberikan kejutan kepada anaknya.
Memang benar kedua orang tua Jihan datang dengan memberi kejutan, namun bukan suatu hal yang membuat Jihan bahagia, melainkan kesedihan, kepergian orang tuanya kepada pemilik semesta.Kedua orang tua Jihan, belum di temukan jasadnya. Para tim SAR sedang berusaha.
Jihan sudah lelah, sudah berapa kali tangisan yang di keluarkan oleh matanya. Namun, air matanya terus mengalir, dadanya masih terasa sesak, seolah ada batu besar yang menghantamnya.
Belum lagi, soal malam itu, malam kelam yang harus di lalui oleh Jihan.
Bagaimana mungkin Jihan bisa menerima cobaan begitu berat, setelah kehormatannya di renggut, kini Tuhan mengambil nyawa kedua orang tua yang sangat Jihan sayangi dan cintai.
"Kakak ambilin makan yah, nanti kamu makan," ucap Zia.
"...." Jihan hanya diam.
Zia melepaskan tangan Jihan yang sedang memeluknya, lalu dia berjalan meninggalkan kamar Jihan.
Jihan kembali terdiam, seperti biasa tatapannya kosong.
Jihan bangun dari tidurannya, lalu dia berjalan menuju meja belajarnya.
Tangannya terulur mengambil sebuah gunting yang ada di meja belajarnya."An, mau ketemu Bunda sama Ayah," ucapnya, bibirnya tertarik keatas membuat lengkungan indah.
Fisya, Al, Mita, Kevin, dan Fano, datang kerumah Jihan.
"Masuk!" titah Zia tersenyum.
"Makasih Kak Zia." Fisya tersenyum.
"Kak Zia, Jihannya ada?" tanya Mita.
"Heeum, ada di kamar lagi tiduran, ini Kakak lagi buat makanan buat Jihan," ucap Zia.
"Kalo mau ke kamarnya, ke kamar aja!" titah Zia.
"Okey Kak!"
Fisya dan Mita berjalan menaiki tangga, untuk ke kamar Jihan.
Al, Kevin dan Fano, mereka masih duduk di sofa ruang tengah, Zia sedang membuat minuman untuk teman-teman Jihan.
"Fan, ek kandi?" tanya Kevin, saat melihat Fano berjalan menaiki tangga.
"Kamar Jihan."
"Heh, gak boleh cowok masuk kamar cewek!"
Fano acuh dengan ucapan Kevin, dia meneruskan menaiki tangga menyusul Fisya dan Mita.
"Jihan!" terdengar teriakan Fisya da Mita.
Fano yang baru setengah menaiki anak tangga, langsung berlari untuk ke kamar Jihan.
Jihan sudah tergeletak di samping meja belajar, darah keluar dari pergelangan tangannya.
"An!" teriak Fano, lalu dia menghampiri Jihan yang tergeletak di lantai.
"An!"
Fano memangku tubuh Jihan, lalu keluar dari kamar menuruni tangga.
"Jihan kenapa?" tanya Zia panik.
Fisya dan Mita sudah menangis.
"Ambil kunci mobil gue Vin!" titah Fano sambil berjalan keluar rumah.
Fano menidurkan Jihan yang tidak sadarkan diri di jok belakang.
Lalu dia mengendarai mobilnya.Zia, Al, Fisya dan Mita mengendarai mobil milik Al.
Fano menyetir mobil dengan perasaan was-was, jantungnya berdetak kencang, matanya selalu melirik Jihan melalui kaca.
"Anji*g, bawa mobilnya pelan-pelan Fan!" teriak Kevin.
"Fan, berhenti!"
"Kalo pelan-pelan nanti lama sampe rumah sakit!"
"Fan, stop!"
Bugh!
Kevin menonjok pipi Fano.
"Berhenti! Gue yang nyetir!" kesal Kevin.
Fano akhirnya menyetujuinya, dia mengesampingkan mobilnya lalu pindah ke belakang, sedangkan Kevin yang menyetir.
Fano menidurkan Jihan di pangkuannya.
Dia menatap pergelangan tangan Jihan yang masih mengeluarkan darah, Fano mengambil tas P3K yang ada di mobilnya.
Dia membalut tangan Jihan menggunakan perban, setidaknya darah nya berhenti mengalir.
"An!" Fano memegang pipi Jihan yang sudah mulai dingin.
"An, bangun!" Fano mulai mengeluarkan air matanya.
"Cepetan bego!" Fano mengatai Kevin, Kevin acuh, dia menatap Fano.
"An, a--aku minta maaf!" Fano kembali terisak.
Kevin menatap kasihan Fano di kaca, baru kali ini Kevin melihat Fano sekacau ini.
~♡♡~
Perlahan mata Jihan mengerjap, dia mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang masuk.
Bau khas ruangan ini, Jihan tau dia dimana. Rumah sakit.
Jihan menghela nafasnya. Jihan kira dia akan bangun sudah ada di alam lain. Ternyata Tuhan masih menginginkan Jihan menjalani hidupnya.
"Ana!"
Jihan menatap Zia, Kakak iparnya itu sudah mengeluarkan air matanya.
"Nanti apa yang harus Kakak bilang sama Kakak kamu." Zia mulai terisak.
"Maaf." Hanya kata itu yang terlontar dari bibir mungil Jihan.
"Di depan ada temen-temen kamu, mau kakak panggilin?" tanya Zia.
Jihan tersenyum lalu mengangguk. Zia berjalan keluar dari ruang rawat inap Jihan lalu menyuruh teman-teman Jihan untuk masuk ke dalam.
"Fan gak masuk?" tanya Al.
"Kalian aja duluan, gue kedepan bentar," jawab Fano.
Teman-teman Fano masuk ke dalam ruang rawat inap, sedangkan Fano hanya diam mematung di tempatnya.
Fano perlahan berjalan mendekati pintu, lalu mengintip di balik kaca berukuran persegi panjang.
Fano bersyukur Jihan sudah bisa membuka matanya lagi. Fano tidak ingin masuk, karena Fano takut nantinya Jihan akan kembali menangis melihatnya ada disana.
Fano hanya bisa melihat dari balik kaca itu, memperhatikan Jihan yang sedang di suapi oleh Fisya.
Wajah cantik Jihan, terlihat lesu, wajahnya pucat.
"Semoga lekas sembuh, An." Fano menarik bibirnya sedikit membuat senyuman tipis.
~♡♡~
Thanks buat yang udah baca😚❤️
Jangan lupa votenya ya!! Biar semangat buat lanjutin cerita ini😌🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ex, My Husband
Roman pour AdolescentsAdakalanya cinta membuat sakit kan? Entah itu orangnya atau perasaannya. Mencintai atau dicintai itu adalah sebuah anugrah, Cinta juga tidak bisa dipisahkan dari takdir. Takdir... takdir yang membuat malam kelam itu dilalui oleh Jihan, bagaimana mun...