"Aku ingin bertemu Torao."
Ucapan tegas dari seorang pengunjung rumah sakit tersebut, membuat Makino mengangkat sebelah alis sabitnya dalam raut bingung.
"Torao?" Tanya wanita pertengahan tiga puluhan itu, mengulang nama yang disebutkan pemuda di depan meja resepsionisnya.
Pengunjung tadi mengangguk antusias, "benar, Torao. Bisakah bibi panggilkan dia untukku? Atau katakan saja dimana aku bisa menemuinya."
Lagi-lagi alis Makino menukik. Terlihat sekali dia tidak suka dengan sebutan bibi yang pengunjung tersebut tujukan untuk dirinya yang baru saja menginjak 35 tahun.
"Maaf, kalau boleh tahu siapa nama lengkap dari Tora—"
"Ah itu dia!" Ucapan Makino terpotong saat pengunjung yang tampak masih belasan tahun tadi menoleh ke arah tangga utama di tengah lobi rumah sakit.
"Torao!" Teriak pemuda itu, sembari melambai ke arah dua orang berpakaian dokter yang baru saja sampai di tangga terbawah.
Makino dan seorang perawat paruh baya di sebelahnya kontan menarik atensinya pada dua dokter tersebut. Salah seorang diantaranya yang bisa dipastikan merupakan dokter kebanggaan rumah sakit ini, secara tak terduga malah membalas lambaian tangan pemuda tadi.
Lebih tidak terduga lagi, dokter yang Makino dan seluruh jajaran rumah sakit ini kenal sebagai sosok tenang, tak pernah tersenyum lepas, dan selalu berwajah masam tersebut——justru malah sedang tersenyum lepas pada pemuda tersebut. Benar-benar melawan citra dingin yang selama ini menempel di dahinya.
"Siapa anak itu?" Perawat paruh baya bernama Dadan bertanya dalam gumaman tak percaya.
Begitu pun Makino. Wanita berambut legam tersebut sampai dibuat takjup. Selama lima tahun mengenal dokter bernama lengkap Trafalgar Law tersebut, ia belum pernah sekalipun melihatnya tersenyum dan menatap dengan cara seperti yang ditujukan kepada pemuda tadi.
"Entahlah. Mungkin kerabat dekatnya."
Dadan langsung menyanggah, "tapi dokter Trafalgar sudah tidak memiliki keluarga. Dia sudah menjadi yatim piatu sejak usia 13 tahun, tepatnya sejak sebuah kecelakaan pesawat menewaskan ayah, ibu, dan adik semata wayangnya."
"Lalu siapa anak itu?" Gumam mereka bersamaan, masih enggan melepas pandangan keduanya dari si objek perbincangan yang saat ini belum ingin berhenti tersenyum lembut sembari mengusak pucuk kepala si pemuda.
.
.
.Berita tentang perilaku tidak biasa sang Dokter bedah dan kedatangan pemuda misterius berwajah kekanakan tadi langsung menyebar ke seantero rumah sakit. Banyak diantaranya yang sangat kurang kerjaan sampai memantau segala pergerakan Law dan si pemuda.
Kantin rumah sakit siang ini pun menjadi lebih ramai dari hari-hari sebelumnya. Semua berkat kekepoan mereka pada sang Dokter bedah dan si pemuda misterius yang kini tengah menyantap makan siang di sini. Mereka kompak secara diam-diam mengarahkan atensi pada dua orang lelaki yang saat ini duduk saling berhadapan di kursi kantin dekat jendela.
Dokter Trafalgar terlihat sedikit tersenyum ketika membuka kotak bekal pemberian pemuda mungil di depannya. Sementara si pemuda sendiri tampak antusias mencicipi setumpuk besar hidangan buatan kantin rumah sakit yang ia pesan beberapa saat sebelumnya. Sungguh kontras dengan ukuran tubuhnya yang kurus dan tidak terlalu tinggi. Pemuda itu bahkan sudah mondar-mandir ke konter pemesanan hanya demi semangkuk bola daging. Dan ngomong-ngomong sebenarnya sejak tadi semua hidangan di atas mejanya adalah menu berbahan dasar daging.
Tentang sejauh mana pemuda itu menyelukai daging, bahkan para penonton malas menerka.
Di lain sisi Law masih hikmat menyantap makanan dari kotak bekal tadi. Ia hanya sesekali berhenti menyantap ketika pemuda di depannya tersedak atau makan belepotan layaknya bocah. Seperti saat ini, Law tampak menghela sabar, mengambil sapu tangan dari saku kemeja birunya untuk digunakan mengusap sekeliling mulut pemuda di hadapannya.
"Pelan-pelan, nanti tersedak." ujarnya lembut.
Bisa ditebak, apa yang kini tengah para penonton itu lakukan. Mereka reflek mengambil ponsel dan merekam segala tingkah manis sang dokter yang kemungkinan hanya akan terjadi seribu tahun sekali saking langka dan tidak mungkinnya terjadi. Maksudnya tidak mungkin orang akan mempercayai kejadian tersebut andai tidak melihatnya secara langsung.
"Ngomong-ngomong kenapa Luffy-ya tiba-tiba datang?"
Luffy nyengir lebar sebelum menjawab dalam nada polos khasnya, "Kangen Torao, tidak boleh?"
Setelahnya ia kembali melanjutkan acara santap rakusnya, mengabaikan pria di hadapannya yang serta-merta mengusak pucuk kepalanya penuh kasih.
Untung saja saat ini adalah siang hari, dimana pencahayaan kantin sepenuhnya berasal dari kaca jendela, kalau tidak barangkali seluruh ruang sudah dihujani oleh blitz-blitz yang berasal dari kamera ponsel orang-orang yang tengah mengabadikan kejadian langka barusan.
Sungguh hiburan di kala penatnya menjalani kerasnya kehidupan di lingkungan rumah sakit. Sepertinya orang-orang kurang kerjaan itu perlu memberikan penghargaan kepada si pemuda misterius karena sudah berhasil membuat mereka melihat sisi hangat dari sang dokter bedah yang terkenal jarang berekspresi.
"Sebenarnya siapa bocah manis itu?"
Ini merupakan pertanyaan yang kompak orang-orang tadi pikirkan dalam hati.
-fin-
Sebenarnya chapter berikutnya sudah selesai kutulis, tapi besok lagi aja aku upnya😉
30/10/2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Marsmellow [Oneshoot] - LawLu🔞
Fanfic[Ini adalah book pindahan dari akun lama aku @chinchapedas] -summary- Hanya sebuah untaian kisah manis tentang sepasang kekasih berbeda karakter