Dia pemuda berusia 19 tahun. Kerjaan nya cuma mondar mandir saja setiap hari dari rumah ke sawah mencari keong jika ada, kemudian beli makan di pasar. Kalau dia dapat keong banyak, dijual keong itu di tempat Pak Munir dan berakhir di surau dekat sekolah dasar yang minim siswa nya. Disitu biasanya dia menanti waktu dhuhur. Setelah dhuhur selesai, pemuda itu tidak langsung pulang melainkan duduk duduk di warung mbok Parni tak jauh juga dari surau. Asap cerutu dikebulkan demikian pekat. Adanya warung ini di dekat surau membuat warga yang dari rumah berniat sholat jamaah tetapi melipir dulu menjadi merokok berjamaah. Tidak dengan Pemuda satu ini, dia akan bertandang sehabis selesai sholat. Begitulah pesan sang ibu, jangan meninggalkan sholat.Sucipto Aji Purnomo namanya. Tidak seperti namanya yang terkesan Jawa sekali, wajah nya lebih menuju kebule bulean sedangkan kulit nya sawo matang sebagaimana hal nya kulit orang orang kampung pada umumnya. Cipto hidup hanya berdua dengan Ibu nya di pondok sederhana dekat Gedung kosong bekas pabrik sepatu. Jadi, sudah sewajarnya dia membantu ibu nya mencari uang. Beruntung Cipto masih bisa menyelesaikan sekolah tingkat akhir nya di usia 18 tahun kemarin. Jangan tanya dimana bapak nya, Cipto tidak pernah mau menyinggung soal bapaknya. Tetapi kalau kalian mau tahu, bisa nanti saya bujuk dia untuk bercerita.
"Cecep!!!, kamu itu ya dicariin dari tadi gak ketemu-ketemu. Eh ternyata asyik ngopi dan nyebat disini! Hah hah." Perempuan setengah abat berbadan gemuk dan pendek itu mengatur nafas berkali kali sambil bersandar di dinding kayu warung, tangannya bertumpu pada lutut.
Cipto tersedak kopi dan buru-buru menegak air putih dari kendi yang letaknya tidak jauh. Kemudian memperhatikan perempuan yang memanggil nya Cecep baru saja. Iya, hanya dia yang memanggil dengan sebutan itu.
"Ada apa Budhe?"
"Sebentar, aku butuh air." Budhe Siti menegak air dari kendi di atas meja dan duduk di sebelah Cipto.
"Jadi, ibu mu kemana Cep? Budhe tadi nyari di rumah tapi rumah mu kosong.""Ibu kan lagi jualan Kue di pasar."
"Oh iya ya!! Astaga budhe lupa Cep. Ya sudah, mau kepasar dulu."
Cipto menghela nafas ketika Budhe Siti itu sudah pergi dari sana. Dia pikir, ada sesuatu yang penting sampai lari-lari begitu.
"Budhe mu itu kenapa sih Cip? Heboh sekali." Mbok Parni yang sedang menata gorengan di lengser menatap ke arah Cipto sekilas.
"Memang sudah begitu sejak lahir mbok, hahaha." Cipto kembali meminum kopi nya hingga tandas menyisakan ampas hitam.
"Aku bayar nih mbok, pulang dulu mbok.""Iya Cip, makasih ya."
Cipto berjalan dengan santai menuju arah rumah nya. Sesekali menyapa orang yang memang di kenalinya. Setelah menempuh perjalanan hampir 15 menit, penampakan rumah Cipto sudah terlihat. Begitu sampai di halaman depan, Cipto langsung saja mencuci kaki dan masuk kedalam rumah. Dia bergegas mandi sekalian mencuci baju, selepas itu Cipto akan menonton tv sambil menunggu ibu nya. Tv itu masih hitam putih. Maklum saja itu tv sudah lama sekali sejak kakek nya masih ada. Tetapi sangat menghibur ketika acara lawakan ditayangkan. Cipto sesekali tergelak ketika mendapati adegan lucu di sana.
=~=~=~=
Cipto merasa tubuhnya kaku, dia menggeliat dan melihat sekeliling. Ternyata ketiduran di kursi panjang depan tv, pantas saja punggung nya sakit dan kaki nya kaku-kaku.
"Sudah bangun Cip? Ayok makan dulu." Itu suara ibu nya Cipto, Ningsih namanya. Cipto langsung saja duduk dan melihat sang ibu sedang menakar terigu beserta kawan kawannya untuk di jadikan kue.
"Ibu kenapa gak bangunin Cipto? Badan Cipto sakit semua ini Bu tidur di kursi." Cipto merengek dan melangkah ke tempat Ibu nya yang sudah beralih menyiapkan nasi di piring untuk anak laki laki nya itu.
"Sudah ibu bangunin, kamu nya gak mau bangun."
"Masa iya?"
"Iya. Atau mendingan tadi ibu guyur kamu pake air bekas cuci piring aja ya?"
" Ya jangan dong buk, nanti ketampanan Cipto ilang loh."
Ningsih hanya mendengus mendengar jawaban anaknya itu. Kemudian kembali dengan kesibukan nya menakar adonan untuk kue. Tangannya sudah putih semua dengan tepung. Sementara Cipto makan dengan lahap.
"Oh iya Bu. Tadi Budhe nyariin ibu tuh."
"Iya, tadi sudah ketemu di pasar. Minta dibuatin jajanan kue buat tahlilan di tempat nya Mbak Imah."
"Oh."
Lalu tidak ada pembicaraan apapun. Setelah Cipto selesai makan, dia berjalan ke belakang untuk mandi sore, sengaja dia mandi lebih awal karena ada janji untuk bertemu pak Rohman di kandang kuda milik nya. Cipto pamit dengan ibu nya dan segera berangkat ke kandang kuda dibelakang rumah pak Rohman.
Diperjalanan Cipto sempat melihat beberapa gadis muda seusia nya atau bahkan ada yang lebih muda darinya duduk di teras rumah nya Nita. Nita itu anak nya pak Komang, istrinya pak Komang menjual manik manik perhiasan untuk para gadis dan ibu ibu. Jadi wajar saja rumah Nita itu ramai dengan para gadis muda.
"Sore mas Cipto." Sapa salah satu gadis itu.
"Mau kemana mas Cip?" Itu si Nita yang bertanya.
"Mau ke kandang kuda nya Pak Rohman." Cipto tersenyum manis seraya berhenti sejenak di depan rumah Nita, kedua siku tangannya bertandang di pagar rendah depan rumah Nita.
"Gak mau mampir kesini mas?"
"Enggak deh, aku ngapain ke rumah Nita, gak mungkin kan aku pakai jepit rambut." Cipto kali ini tersenyum lebih lebar menampakkan deretan gigi putih nya.
"Kan bisa ngobrol sama kita Mas Cip." Gadis berkulit kuning Langsat dan berambut ikal ikut menjawab seraya memasang jepit rambut di rambutnya.
"Lain kali aja ya gadis-gadis manis, aku buru buru nih. Duluan ya." Cipto melambaikan tangan nya sekilas kemudian kembali melanjutkan perjalanan nya. Begitulah Cipto di pandang gadis-gadis di kampung ini. Wajah bule nya dengan kulit coklat eksotis membuat kesan tampan melekat pada dirinya.
Bersambung...
Terimakasih yang sudah baca, vote, dan comment. 🙏
Semoga suka...
KAMU SEDANG MEMBACA
SUCIPTO
Novela JuvenilApa yang ada di pikiran kalian tentang nama ini. SUCIPTO AJI PURNOMO. tidak ada? Aku akan menceritakan tentang dia. Pemuda yang sejak kecil hidup dibawah kasih sayang ibu nya. Lantas, bagaimana jika Pemuda itu harus hidup sendiri tanpa ibu nya? Be...