2. Beasiswa?

4 6 3
                                    


Tidak jauh memang, hanya butuh 15 menitan dengan berjalan kaki. Mungkin akan lebih cepat kalau saja Cipto tidak melipir untuk menyapa gadis gadis tadi. Di sana sudah ada Pak Rohman sendiri sedang mengumpulkan jerami untuk dimasukan ke dalam gudang.

"Sore Pak Rohman."

"Eh, sore Cip. Sudah datang rupanya, langsung saja ya tolongin ikat jerami nya nanti gotong ke gudang sana."

"Siap pak." Cipto sedikit mendengus sebelum menyentuh jerami itu, kalau tahu begini dia tidak bakal mandi dulu. Dikiranya cuma kasih makan dan minum untuk kuda kuda nya Pak Rohman.

Cipto mengikat jerami-jerami itu dan menggotong nya menuju gudang. Kegiatan itu di lakukan Cipto berulangkali sampai semua jerami terkumpul di gudang. Sementara Pak Rohman beralih memberi makan kuda nya yang berjumlah 6 ekor. Setelah semuanya selesai mereka berdua duduk di pondok kecil yang sengaja di buat untuk berteduh pak Rohman.

"Nih upah nya, makasih ya Cip." Pak Rohman menyodorkan beberapa lembar uang kepada Cipto. Upah itu untuk kerja Cipto seminggu ini mengurus kuda. Setelah itu Cipto tidak akan lagi mengurus nya, karena pengurus aslinya sudah kembali. Cipto hanya pengganti sementara selama pengurus aslinya libur dikarenakan istrinya melahirkan.

"Terima kasih pak." Cipto memasukkan uang itu ke dalam saku celana kemudian meminum es teh nya. Cipto sangat suka memandangi kuda kuda milik Pak Rohman yang gemuk dan gagah. Ingin rasanya dia memiliki kuda suatu saat nanti.

"Kamu kenapa gak kuliah Cip? Kata Baron, dulu di SMA kamu sering jadi juara kelas."

Cipto tidak langsung menjawab, ia teguk kembali es teh nya hingga tersisa setengah rendah. Baron Pamungkas, dia anak nya Pak Rohman dan teman sekelas nya Cipto di SMA. Mereka juga berkawan baik. Dulu sering sekali main di sungai, entah mandi atau hanya sekedar menangkap ikan dengan tombak.

"Sebenarnya saya juga mau kuliah seperti Baron, tapi ibu gak ada biaya buat kuliahin saya pak, kalaupun ibu bisa saya sendiri yang gak tega liat ibu kerja sendirian."

"Kamu kan bisa ambil beasiswa, Cip." Pak Rohman melirik Cipto dari sudut matanya.

Cipto menghela nafasnya, rasanya setiap membahas tentang perkuliahan hati nya sesak. Cipto ingin mengambil beasiswa dari dulu, tetapi mengingat Ibu yang hidup sendirian. Tidak tega sekali rasanya.

"Saya bisa Bantu kalau kamu mau, Cip. Ibu mu pasti senang dan bangga. Mumpung ini masih tahun ajaran baru."

"Bantu bagaimana pak?" Cipto mengerutkan keningnya, menatap ayah dari Baron itu yang sedang tersenyum.

"Bantu carikan beasiswa untukmu. Gimana?"

Cipto menimbang-nimbang sejenak. Ingin rasanya dia menjawab 'mau' tapi tidak bisa semerta merta tanpa memikirkan ibu nya.

"Saya bilang ke ibu dulu ya, pak."

"Iya Cip, nanti kabari saya ya."

"Iya. Terimakasih pak Rohman, saya pamit pulang dulu."

Cipto berjalan meninggalkan kandang dan pekarangan rumah Pak Rohman, disetiap perjalanan menuju rumahnya, Cipto sama sekali tidak melihat sekeliling nya. Hanya memperhatikan tanah berwarna coklat yang dipijak langkah demi langkah. Pikiran nya bercabang, apakah dia harus bicara pada ibu nya atau tidak? Cipto merasa gelisah memikirkan kalau dirinya kuliah di kota, ibu nya sendiri disini. Rasanya kepala Cipto mau pecah. Sampai- sampai dia tidak sengaja menabrak bahu seseorang.

"Eh, maaf gak sengaja-"

"Mas Cipto ini bagaimana sih, jalan kok melamun. Jatuh nasi pecel ku tuh." Gadis itu menunjuk nasi bungkus nya yang sudah jatuh berserakan di tanah. Dia Arum, gadis 17 tahun yang masih duduk di bangku SMA dan tadi pun juga ada waktu di rumah Nita. Tetapi dia tidak ikut menyapa Cipto.

"Maaf Rum, aku beneran gak sengaja. Aku ganti ayok." Cipto menarik tangan Arum untuk pergi ke warung yang menjual nasi pecel.

"Gak usah tarik tangan aku juga mas, di liatin orang orang."

Otomatis Cipto langsung melepas tangannya dari pergelangan tangan Arum dan menggaruk rambut belakang nya.

"Kamu tadi beli nasi nya diwarung siapa?"

"Mbok Parni."

"Lah, jauh amat Rum. Di tempatnya mbak Santi aja ya. Deket tuh disana."

Arum hanya mengangguk dan mengikuti Cipto yang berjalan lebih dulu. Cipto memesan satu bungkus nasi pecel dengan telur dadar untuk mengganti nasi pecel milik Arum, tetapi kemudian dia memesan dua lagi untuk dirinya dan ibu di rumah. Tidak apa apa lah sekali kali makan enak. Tidak lama kemudian pesanan Cipto sudah selesai. Cipto menyerahkan satu bungkus kepada Arum yang masih berdiri di belakang nya.

"Makasih Mas Cip."

"Iya, sekali lagi aku minta maaf ya Rum."

"Iya mas, lain kali jangan melamun di jalan. Bahaya."

Cipto hanya mengangguk sembari memperhatikan Arum yang sudah berjalan pergi.

"Naksir ya Cip?"

"Hah?" Cipto langsung menoleh ke samping, menatap ke arah mbak Santi yang sedang senyum lebar.

"Arum cantik dan baik, Pepet aja Cip. Cocok kok kalian."

Cipto hanya geleng-geleng kepala mendengar perkataan mbak Santi itu. Arum memang cantik. Kulitnya sawo matang terlihat sehat dan berkilau. Rambutnya hitam pekat panjang nya sebahu. Terkadang di kuncir, terkadang di urai. Bola matanya hitam legam dengan bulu mata lentik tidak begitu panjang. Hidung yang mungil juga pipi chubby yang menggemaskan. Tetapi Cipto hanyalah mengagumi kecantikan gadis muda itu. Tidak untuk mencintai. Belum ada perasaan seperti itu.

Bersambung...


Terimakasih 🙏
Jan lupa vote comment follow ya...
Semoga suka

SUCIPTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang