Journal 3: Departure

21 1 0
                                    

Jadwal keberangkatan Vanilla dipercepat dari tanggal yang sebelumnya sudah ia dan keluarga tetapkan. Alasannya adalah dia tiba-tiba mendapatkan email dari JWP Entertainment bahwa perwakilan perusahaan hiburan tersebut ingin bertemu dirinya. Awalnya ia meminta untuk berkomunikasi melalui daring saja, namun perusahaan tetap kekeuh dengan pendiriannya yaitu meminta untuk bertemu tatap muka. Apa boleh buat, dia menyetujuinya. Vanilla terpaksa berbohong kepada kedua orang tuanya mengenai jadwal keberangkatan dirinya yang harusnya masih beberapa hari lagi malah dipercepat esok hari. Dia memberikan alasan bahwa ada berkas-berkas yang harus ia urus langsung di negara Ginseng tersebut. Bersyukurlah dia saat orang tuanya setuju saja.

"Nggak nyangka gue bakal ditinggal besok. Betah-betah lo di sana. Jangan bikin masalah." Ucap Vernon berbaring di ranjang adiknya sembari memainkan league of legend di ponselnya.

"Emang gue trouble maker apa. Bang, yang ada itu lo harusnya sayang-sayangin gue selagi ada di rumah." Sanggah gadis itu dengan bersungut membereskan beberapa perlengkapannya.

Vernon hanya terkekeh kecil kemudian mengelus rambut adiknya. "Iya sayangkuuuu".

"Geli dengernya." Vanilla hanya memutar kedua bola matanya jengah.

"Harusnya lo jujur sama ayah bunda, Del." Vernon kini serius membahas topik tersebut. Ia menyudahi acara main gamenya kemudian meletakkan ponsel di meja kecil samping ranjang. Kedua lengannya ia jadikan tumpuan di kepala sembari menatap langit-langit kamar adiknya.

Bagus. Pikir laki-laki itu. Tampaknya jika ia rindu adiknya ia akan tidur di sana saja.

"Kalo gue jujur yang ada bisa nggak dibolehin. Gue pingin mandiri sekalian cari uang di negara orang. Siapa tahu kan balik Indonesia gue jadi milyarder." Vernon lalu menjitak pelan kepala gadis itu.

"Nggak percaya banget gue. Ya sudah besok kalau sampai cepat kasih kabar." Vanilla hanya mengangguk. Walau seberapa keras laki-laki itu menggoyahkan hati adiknya, Vanilla tetap dengan pendiriannya.

"Kok bisa ya tuh perusahaan minta lo langsung ke sana? Gila banget sumpah! Padahal wawancara lewat laptop bisa bikin efisien waktu banget. Eh, ini lo beneran diterima kan? Awas aja kalau nggak. Bisa abis tuh orang-orang HRD sama gue." Vernon mengepalkan tangan kanannya lantas meninjunya berulang kali ke udara merasa gemas.

"Lah, emang lo berani gebuk mereka?"

"Ya—enggak sih..hehe" Mendengar jawaban kakaknya lantas membuat Vanilla menepuk kaki kakaknya merasa sebal.

"Do'ain aja gue selamat."

"Pasti itu, Del."

***

Saddam, Jay, Abrian, Winter, dan Damian sedang duduk melingkar di apartemen yang memang dikhususkan untuk mereka. Namun tidak hanya mereka saja. Ada satu orang laki-laki berumur kurang lebih 35 tahun ikut duduk bersama kelimanya. Semuanya menatap laki-laki berambut hitam kecokelatan tersebut dengan detak jantung mereka yang dari tadi berdegup cepat. Tentu saja mereka sangat gugup. Masalahnya adalah orang di depan mereka ini bukan orang sembarangan juga di perusahaan. Sebagai artis yang akan siap menjadi bahan konsumsi publik mereka tidak boleh membuat kekacauan dan harus membuat kesan pertemuan yang baik agar dipandang baik juga oleh perusahaan mereka.

"Sepertinya saya tidak perlu memperkenalkan diri lagi karena tentu kalian berlima sudah kenal." Ujar laki-laki itu bersidekap memperhatikan wajah para pria muda di depannya satu-satu. Mereka spontan mengangguk.

"Kami sudah mendapatkan manager untuk kalian. Setidaknya untuk saat ini, kami masih memberikan satu orang saja. Untuk informasi, dia bukan orang Korea Selatan." Penjelasan laki-laki itu membuat semuanya terkejut.

HI HELLO, SEOUL!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang