Bagian 10

197 38 8
                                    

"Sekedar hadir sesaat lalu pergi tanpa jejak?"

🍁🍁🍁🍁


"jangan pernah lo caper ke Putra!" Bentak gadis di hadapan Saira.

"Putra temen aku kak, Kami gak ada hubungan apa-apa!" bela Saira pada dirinya sendiri.

"Gue gak mau tau hubungan lo apa, yang penting lo jauhin Putra!" tegas gadis itu.

Kakak tingkat Saira ini melabraknya hanya masalah sepele. Masalah hubungannya dengan Putra.

Padahal sudah Saira jelaskan. Tetapi gadis itu masih saja bersikeras. Lagi pula Saira tak ambil pusing dengan ini semua.

Putra sudah mau berteman denganya saja alhamdulillah. Kenapa harus dipermasalahkan? Putra baik kepadanya kerena mereka teman.

"Apa'sih masalah lo? Saira sama Putra itu sahabatan, gak lebih!" Ziva sudah muak dengan kakak tingkatnya ini.

Selalu saja berbicara tak masuk akal. Apa tidak ada topik lain? Hingga terus menyuruh Saira untuk menjauh dari Putra.

"Masalah gue itu, temen lo ini. Kenapa dia harus hidup lagi sih? Bahkan tuhan malu punya hamba kaya dia, pembunuh!" gadis bernama Vania itu menatap Saira sinis.

Baginya Saira itu hama yang harus di singkirkan dari bumi. Manusia yang tak pantas hidup.

Saira yang mendengar kata pembunuh itu menunjuk dirinya. Matanya menatap Ziva. Tanganya mulai merayap pada rambutnya.

Seperti orang gila. Saira merasakan sakit kepala, memori ingatannya seperti ingin menunjukan sesuatu.

Semakin menjadi. Kedua tangan Saira menjambak rambutnya. Semua orang menatap ngeri pada Saira. Sudah seperti monster.

"GUE BUKAN PEMBUNUH!" teriak Saira.

Senin pagi ini kenapa selalu saja ada kejadian tak terduga. Seperti saat ini. Penyakit Saira kambuh.

"Lo!" tunjuk Ziva pada Vania, "Lo, gak punya hati! Saira lagi berduka, bokapnya meninggal. Dan, lo! Semakin membuat diri Saira rapuh anjing, gak ada otak lo!" Ziva naik pitam.

Bagaimana tidak, Sahabatnya itu sedang rapuh kenapa tidak ada yang merasa kasihan padanya. Malah mereka semakin membuat gadis itu rapuh dengan masalah baru.

Vania yang ditatap dengan sinis pun lebih memilih pergi. Seperti tidak ada yang terjadi. Padahal lawan bicaranya tadi sedang meng-gila.

Ziva berusaha menenangkan Saira. Meminta bantuan pada Denan dan Putra.

Putra yang baru saja datang dikagetkan dengan Saira yang menjambak rambunya sendiri. Dengan sigap Putra memeluk Saira, mencoba menenangkan gadis itu.

"Gimana bisa kambuh?" tanya Denan penasaran.

"Gara-gara Vania. dia neriakin Saira pembunuh, terus Saira kambuh," ujar Saira menceritakan kejadiannya.

Putra memandang Saira yang sudah tenang dalam dekapannya. Saira terlelap bersamaan dengan peringatan upacara akan dimulai.

"Bantuin gue angkat ke UKS," ucap Putra yang diangguki Denan.

🍁🍁🍁

"Gue mau upacara. Gue gak pa-pa loh," mohon Saira pada para sahabatnya.

Ya, Saira tersadar saat tubuh-nya baru saja mendarat di brankar UKS. Saat ini dia bersikeras ingin mengikuti upacara.

"Ra, lo baru sadar!" tegas Ziva. Dia tidak ingin ada kejadian buruk menimpa Sahabatnya yang satu ini.

Saira tak mengindahkan ucapan Ziva. Matanya kini menatap Putra, mencoba meminta persetujuan dari lelaki itu.

"Put," panggil Saira.

"Hm?" sahut Putra

"Boleh, ya?" pinta Saira.

Putra menggukan kepalanya. Memberi persetujuan dari keinginan gadis itu. Lagi pula apa salahnya? Hanya upacara.

Ziva dan Denan menatap tak percaya pada Putra. Tumben sekali lelaki itu memperbolehkan.

"Put?" ucap Ziva tak percaya.

Saira tersenyum senang. Kali ini dia bisa merasakan panasnya matahari pagi. Salah satu cara melupakan hal, walau sementara itu dengan upacara. Karena kalian bakal memikirkan panas pagi yang membakar kulitmu dan melupakan masalahmu.

"Ziv, ayo!" ucap Saira antusias.

Ziva hanya mengikuti langkah gadis itu. Mengalah untuk saat ini itu mungkin lebih baik.

"Ayo!" ajak Putra pada Denan.

"Lo deluan aja, gue ada urusan sebentar. Entar gue nyusul," ucap Denan lalu berlalu deluan.

Putra yang tak mau ambil pusing langsung berjalan menuju lapangan. Berbaris pada bagian kelasnya.

🍁🍁🍁

"Ya allah, kenapa tubuh hamba!" ucap Saira mendrama.

Ziva yang mendengar itu langsung menoleh pada Saira. Menatap intens gadis itu.

"Kenapa seperti gosong?! Apa'kah ini azab?" lanjut Saira mulai kepanasan.

"Azab si tukang ghosting matinya ditinggalin tanpa mau tau lagi!" sahut Ziva yang mulai geram dengan drama Saira.

Saira menyengir kuda menatap Ziva. Sedangkan yang ditatap marah dengan tingkah gadis itu.

"Eh, Putra sama Denan bolos lagi?" tanya Saira, gadis itu menatap ke semua barisan kelasnya.

Namun nihil.

Putra dan Denan tipikal cowok takut hitam. Katanya sih kalo diajakin baris, "Sayang kulit gue," atau "Lo aja deh, gue gak kuat sama panasnya."

Lemah banget jadi cowok. Padahal cuman beberapa menit dibawah sinar matahari. Tetapi kedua lelaki itu menolak mentah-mentah.

"Hm," sahut Ziva. Seperti sudah diluar kepala alasan kedua lelaki itu tak ikut upacara.

🍁🍁🍁

BRUKK!

semua mata menatap satu objek. Teriakan histeris ala gadis mulai memenuhi SMA Pelita.

Detik-detik upacara akan selesai malah ada kejadian buruk.

Bagaimana tidak mereka terkejut saat tubuh seorang gadis menghantam tanah. Darah mengalir disekujur tubuhnya.

"Gu-gue, bu-bukan pembunuh!" titah seorang Gadis.

🍁🍁🍁

Awal konflik. Siapa yang bunuh diri?
Denan dan Putra yang gak ada? Apakah mereka salah satu pembunuhnya?

❄❄❄

Nama Tokoh
1. Saira Aldera
2. Deva Putra Dermasyah
3. Denan Ardelion
4. Ziva Derlano
5. Gionna Maharani
6. Axey Semira

Tugas kalian cari siapa De? Dia pemegang kunci akhir cerita ini.

Jangan terkecoh dia bisa jadi apa dan siapa. Licik dan tak terduga.

Visual bakal aku up kalo udah ada persetujuan dari yang punya.

SCHOOL DEATH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang