Bagian 14

147 31 2
                                    

"Ingatan yang harus dipaksa hilang!"

🍁🍁🍁🍁


"Makin kesini kamu semakin menjadi De?!" kesal pria paruh baya itu.

"Ini urusanku, jangan ikut campur Pa!"

"jangan renggut nyawa yang tidak ada masalahnya denganmu!" sungguh anaknnya ini sangat gila.

Bahkan membuat semua keluarganya bergidik ngeri saat melihatnya.

"Hahaha ... Justru mereka adalah masalahnya! Mereka menjelek-kan gadisku!" rahang lelaki itu mengeras.

Tubuhnya kehabisan kesabaran membuat pria paruh baya tersebut, menggeram kesal.

"Papa muak dengan semua ini! Jika kamu tidak akhiri ini, maka akan saya bunuh gadismu!" ucap pria patuh baya itu tak main-main.

"Ini urusanku! Papa tak perlu campur tangan, Aku bisa menyelesaikannya sendiri!" tangan lelaki itu mengepal.

Amarahnya sudah ingin meledak. Bagaimana tidak, papanya ini tak mau menurutinya. Padahal hanya memantau saja, tak usah susah payah untuk turun tangan.

"Kau bukan menyelesaikan masalah, malah semakin memperkeruhnya!"

🍁🍁🍁

Ucapan papanya itu terus memutar di ingatannya. Ia tak ingin membuat masalah semakin runyam, niatnya hanya membalaskan dendamnya.

Kebencian menguasai dirinya. Berpura-pura baik itu sangat sulit, bahkan dia takut waktu hampir ketahuan. Semakin kesini semakin menyenangkan baginya.

Melihat derita orang membuatnya tersenyum puas. Entahlah dimana hati nuraninya, mungkin sudah menjadi rutinitasnya untuk sekarang.

Entahlah kapan dia mengakhiri semua ini, menurutnya belum ada niat untuk akhir. Biarlah seperti ini dulu, sampai dia puas.

🍁🍁🍁

"Plis deh Ra, gue bilang gak usah sekolah ya gak usah dong!" Ziva memberengut, sejak tadi Saira terus saja merengek ingin sekolah.

"Emang kenapa sih?" kesal Saira.

Sekolah saja tidak boleh, apa-apa tidak boleh. Kenapa? Saira hanya ingin mencari kesenangan, melupakan sejenak masalah yang dia miliki.

"Gak usah sekolah ya? Kita ke mall aja, gimana?" rayu Ziva.

"Ya, udah terserah deh! Yang penting gue gak bosen aja!" final Saira.

Ziva terenyum, akhirnya selesai juga membujuk gadis itu. Sangat susah memang, tapi mau gimana lagi? Demi kebaikan gadis itu pula.

SMA Pelita memburuk, semua siswa dan siswi memilih pindah dari pada mati konyol.

Agap SMA Pelita sedang melakukan mati massal, pasalnya siwsi setiap hari ditemukan tak bernyawa.

"Ganti baju sono! Masa iya mau pakai baju sekolah kayak gini kemall?" ucap Ziva memandang Saira dari atas sampai bawah.

Gadis yang merasa ditatap merotasikan kedua bola matanya, menatap malas lawan bicaranya itu.

Kaki jenjangnya berjalan menuju kamar, sekedar mengganti baju santai. Bersenandung kecil, entahlah hatinya kini tak karuan.

Saat gadis itu sudah selesai, kakinya mulai melangkah keluar. Namun kepalanya memberat, pandanganya memburam. Ingatannya seperti ingin menunjukan sesuatu yang hilang, semakin berputar hingga gadis itu menjerit kesakitan.

Ziva yang panik langsung berjalan ke lantai dua, memastikan Saira baik-baik saja.

Tidak!

Gadis itu tidak baik-baik saja! Tangan yang menjambak rambutnya sendiri, seperti menahan sakit yang amat menyakitkan.

"Ra lo kenapa?" tanya Ziva panik.

"Ke-kepala gue Zi, sakit banget!" lirih gadis itu.

"Tenang ya, mungkin itu efek amnesia lo!" Ziva menenangkan Saira, hingga gadis itu tenang dengan pelukan hangat Ziva.

"Kayak ada ingatan yang harus gue ingat Zi!" ucap Saira dengan deru napas yang sudah teratur.

"Jangan dipaksa kalo lu belum bisa ingat dengan baik!" tegas Ziva.

Saira menghela napas panjang. Ingatan apa yang harus diingatnya? Apa'kah ada yang penting? Tapi apa?

"Gue pengen ke danau."

🍁🍁🍁

Ingatan apa yang harus Saira ingat? SMA Pelita lagi kenapa? Kok siswi/i-nya memutuskan pindah?

SCHOOL DEATH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang