Belajar Dari Daun Jatuh

45 30 67
                                    

Bab 1


“Kehidupan seperti apa diinginkan manusia?
Yang jelas semuanya ingin terlihat sempurna
Terkecuali ia yang malang
Terombang ambing
Seperti daun yang jatuh dari pohonnya
Mengikuti arus angin
Tak ada perlawanan

“Renjana....” teriak Selvi menggelegar ke seluruh ruangan termasuk menembus dinding kamar gadis itu.

“Iya kak, aku udah bangun kok,” lapor Renjana yang tidak mau kalah melengking suaranya.

Pagi yang berbeda, kicauan burung bersautan seiring gelombang udara berhembus, suasana yang damai di desa Pariaman. Memang bukan pertama kalinya ia berkunjung di desa ini, beberapa tahun yang lalu ia pernah diajak oleh saudaranya untuk menghadiri acara pernikahan. Banyak perbedaan dari keduanya dulu ia tinggal di kota yang besar gedung-gedung menjulang tinggi, terdapat banyak perumahan bertingkat, sedangkan desa ini jauh dari keramain dan sesaknya penduduk, dan tampak rumah panggung yang masih Kokok berdiri.

Suasananya sejuk terdapat bukit-bukit dan hamparan sawah yang mulai menguning, sangat Indah di tambah dengan pesona warna jingga keemasan mentari yang merangsek naik. Perlahan tapi pasti menyusup di antara celah gorden berwarna hijau senada dengan dinding kamar ditambah dengan warna putih.

Gadis itu masih nyaman di tempat tidurnya.  Padahal hari ini, awal ia mulai masuk sekolah setelah sebelumnya telah lulus dari SMP Tunas Bangsa di Jakarta. Sambil menguap dan mengucek-ucek matanya yang masih terasa sangat lengket itu, ia beranjak bangun dan bergegas ke kamar mandi.

Tak berapa lama ia sudah memakai seragam baru yaitu baju kebangsaan sekolah SMA Mutiara membuat dirinya semakin lengkap menjadi putri cantik, tidak lupa memoles wajah dengan bedak tabur baby ditambah sedikit lipglos berwarna pink untuk tidak kelihatan pucat. Ia sudah siap untuk menemui teman baru bahkan sekolah barunya itu. Renjana turun tangga menuju ruang makan untuk menemui bang Rio dan Selvi kakak iparnya yang sedang sarapan.

“Pagi Sayang,” sambut Selvi ditambah dengan senyum manisnya. Renjana balas senyum dengan malas.

Mungkin karena masih ngatuk.

“Hu... cantiknya adek abang, kamu sarapan yang banyak biar semangat saat bertemu dengan teman-teman barunya,” goda Rio.

“Iya bang,” jawab Renjana yang masih mencoba menelan sarapan di tangannya yaitu roti yang telah di olesan dengan selai strawberry terlihat masih sangat canggung ia bisa beradaptasi di tempat ini.

“Nanti kamu diantar sama Kak Selvi yah,”

“Gak usah bang, sekolahnyakan dekat dari rumah biar aku berangkat sendiri aja, udah besar juga,” pinta Renjana yang tidak ingin merepotkan orang lain.

“Baiklah, kamu hati-hati di jalan, ini uang jajannnya,” Rio memberi selembar uang kertas membuat raut wajah muka Renjana berseri-seri dan segera ingin menyelesaikan sarapannya.

“Renjana pergi dulu ya, Asalammualaikum.”

Hanyak butuh lima menit Renjana sudah siap sarapan, tidak lupa mencium punggung tangan abang dan juga kakak iparnya lalu izin pergi ke sekolah barunya.

Hal pertama kali terlintas dipikirannya saat melangkah masuk ke sekolah baru itu mungkinkah ada orang yang ingin berteman denganya? Atau bahkan tidak ada yang ingin dekat dengannya? pikiran buruk selalu membuat ia merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri. Banyak lagi pikiran yang terlintas pada gadis itu.

Gadis berpostur pendek, berkulit putih di tambah lesung pipi membuat kecantikannya menambah. Ia harus bisa mendapatkan teman agar buat betah di desa ini dan sekolah barunya. 

Rela Atas KepergianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang