Subin meregangkan tangannya ke atas ketika dia baru saja keluar dari pintu les tempat dia bermain Piano. Suasana malam yang menenangkan dan dingin membuat kulitnya menjadi merinding. Dia terduduk di tangga pintu masuk dan menghela napas dengan berat. Subin kembali mengecek ponselnya dan tidak ada pesan balasan dari Yedam.
Dia terdiam. Bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya ada hal yang tak mungkin untuk dilakukan lagi setelah ini.
"Apakah aku harus bertanya kepadanya?" gumam Subin dengan pelan.
Subin menangkupkan kepalanya ke bawah dan memeluk kakinya. Sesaat dia ingin menangis karena banyak sekali masalah yang menimpa hidupnya. Ada hal yang selalu memberi jarak dai Subin untuk tidak menceritakan apa permasalahan hidupnya.
Tiba-tiba ponsel Subin berdering. Menampilkan pesan panggil dari Eomma-nya. Subin menghela napas gusar, kemudian memberanikan diri untuk mengangkat telpon.
"Yeoboseo, Eomma."
"Kau belum pulang juga? sudah berapa kali aku mengatakan untuk jangan pulang malam!"
"Eomma, aku sedang memiliki jadwal les piano, aku akan pulang sebentar lagi."
"Kau masih berharap untuk menjadi pianis? lupakan saja, kau tidak berbakat dalam hal itu."
"Eomma, aku berbakat dalam segala hal ... hanya saja Eomma tidak peduli."
"Memang aku tidak peduli. Jadi cepatlah pulang sebelum aku benar-benar akan membuangmu ke jalanan."
klik.
Subin menahan airmatanya untuk tidak menangis. Dia merasa sakit hati ketika Eommanya selalu melarang dirinya untuk melakukan apa pun termasuk untuk mengembangkan bakatnya. Eomma semakin hari semakin sensitif kepadanya sejak dia harus membayar semua utang yang tertunggak.
Subin berusaha untuk membantu dengan menjadi pianis di cafe-cafe atau sebuah acara, namun dia tidak berani memberikan hasil jerih payah upahnya. Dia hanya bisa terdiam dan tidak mengeluh sedikitpun.
Namun, air mata Subin berkehendak lain. Air matanya mengalir begitu saja tanpa kehendaknya. Subin juga tak kuasa untuk menahan tangisnya. Dia sudah banyak tertekan akhir-akhir ini karena tidak ada yang bisa dia lakukan.
Yedam menjauh dan berubah, Eomma semakin sensitif, bahkan dia ditegur karena tak bisa menyelesaikan ulangan dengan baik dengan nilai yang sempurna, alhasil murid kelasnya terganggu dengan nilai Subin yang tak bisa memenuhi rata-rata nilai kelasnya.
Subin sangat terisak di dalam tangisannya. Tidak ada yang bisa mendengar atau membuat dirinya tenang. Dia hanya sendiri sekarang, dan kesendirian Subin lah yang membuat dirinya menjadi tertekan.
"Subin-a," panggil Sooya-teman satu les piano Subin.
Subin buru-buru menghapus air matanya dan menoleh untuk melihat Sooya yang berada di depan pintu dan menatap dirinya. "Kenapa?" tanya Subin sambil tersenyum berusaha untuk menutupi lukanya.
"Ah, tidak. Aku hanya mencarimu saja, kau terlalu lama di luar, apa tidak kedinginan?" tanya Sooya perhatian.
Subin menggeleng dan tertawa kecil. "Tidak! Tidak sama sekali, aku benar-benar tidak kedinginan."
"Ah, begitu. Cepatlah masuk, aku khawatir kau kedinginan," suruh Sooya yang dibalas anggukan kecil oleh Subin.
Subin kemudian menghela napas dengan pelan dan melihat ke langit malam yang indah. Sebelum memutuskan untuk masuk dia berharap dalam hati semoga masalahnya selesai. Setidaknya ....
Setelah Subin masuk, Yedam keluar dari persembunyiannya. Dia menenteng satu plastik kopi hangat dan makanan hangat untuk dimakan oleh Subin. Dia mendengar semua percakapan dan tangisan Subin sejak tadi. Namun yang dilakukannya hanyalah bersender di balik tembok dan terdiam.
Dia berdiri terdiam di tangga tempat Sua terduduk dan menangis. Yedam merasa gagal sudah membuat Subin menangis. Sooya keluar untuk membuang sampah, Yedam memanggilnya.
"Bisa tolong kasih ini ke Subin?" pintanya yang membuat Sooya terbingung.
"Nuguseyo?" tanya Sooya ramah.
"Berikan ini kepadanya. Tenang saja, aku baru membelinya kok, bisa dilihat ini masih hangat," katanya yang dibalas anggukan oleh Sooya.
"Kamsahamnida," sambung Yedam sebelum Sooya berbalik dan masuk ke dalam.
Sebelum Yedam pergi, dia melihat ke arah pintu tempat les itu dan menghela napas. Rasanya berat untuk mengatakan yang sejujurnya kepada Subin. Tapi lebih berat lagi bila dia selalu melihat Subin tertekan karenanya.
Tapi setidaknya ... dia tahu masalah Subin yang tidak pernah diceritakan kepadanya lewat senyumannya yang manis itu.
~~~~
"Nih, dari Subin." Hyunsuk menaruh satu paperbag yang isinya adalah kotak makan dan sebuah paper note.
"Seharusnya kau menolak itu," kata Yedam.
"Ck, bagaimana bisa aku menolaknya. Subin bahkan berjanji untuk mengenalkanku kepada Sooya. Jadi yah ... kuterima saja," balas Hyunsuk disertai dengan kekehan.
"Berikan saja kepada Junghwan," suruh Yedam yang membuat Hyunsuk menoyol kepalanya.
"Kau gila? Tak punya hati? Subin sepertinya memasak ini sendiri. Terlihat dari wangi masakan rumahan yang khas. Kau benar-benar tidak tahu terima kasih."
"Aku tidak memintanya."
"Aku menyuruhmu."
"Sudahlah, jangan membuat aku semakin merasa bersalah."
"Kau akan semakin merasa bersalah jika tidak menerima makanan ini darinya," kata Hyunsuk yang membuat Yedam mengingat kembali pembicaraan Subin semalam.
"Aku tidak ingin membuatnya kepikiran."
"Dia sudah kepikiran tentangmu, kau menjauh dan itu sudah membuatnya kepikiran. Jika saja kau berani, mungkin Subin tidak akan setersiksa gini."
Dalam hati Yedam menyetujui perkataan Hyunsuk. Jika saja dia berani, pasti Subin tidak akan begini. Hhh ... memikirkannya saja sudah membuatnya pusing.
"HOY DAM! DAM! HEOL DAEBAKKK!" Teriak Jeongwoo yang berlari menuju bangkunya bersama dengan Junghwan.
"Berhentilah untuk banyak berteriak, kau membuat kepalaku pening," keluh Yedam sambil memegang kepalanya.
"Kau pasti tidak akan menyangka dengan apa yang akan aku katakan," kata Jeongwoo heboh.
"Apa?"
"SUBIN MENDAPAT PERNYATAAN CINTA DARI MURID BARU."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bang Yedam
FanficDetik-detik terakhir kehidupan Yedam yang dia mau hanyalah untuk selalu bersama Subin setiap detiknya. Dia tidak akan membiarkan Subin merasa kasihan kepadanya. Yedam ingin, Subin memiliki senyum secerah dirinya hingga Yedam lupa bahwa dia harus per...