-AA 26

14 6 1
                                    

Titik mencintai seseorang adalah mengikhlaskan untuk melepasnya.

°°°°°°°°

-Achazia


Citra memakai baju berwarna putih dan celana berwarna hitam. kontras dengan kulitnya yang putih. Rambutnya ia geraikan, dan sepatu berwarna hitam. Citra menuruni anak tangga dengan langkah pelan sehingga tak menimbulkan suara telapak kakinya.

"Bunda, aku pergi dulu," suara Citra, bunda dan kakaknya mungkin sudah tertidur pulas di alam mimpi. Jam menunjukan pukul 08:17 ia bergegas pergi kerumah Abri. karena ia di undang oleh Acha untuk barbeque. katanya diusulkan oleh Akifah agar teman-teman Abri kerumahnya.

Citra menggunakan kendaraan mobil berwarna siver gold. Sesampainya di depan rumah Abri, Citra di sambut baik oleh Acha. Mengapa Acha mengundangnya? Karena ia masih penasaran dengan Citra. Senyum tulus yang Acha berikan ketika menyambut Citra dan menyuruhnya untuk masuk. Di ruangan tengah tempat untuk barbeque jagung disana sudah ada beberapa orang yang tak lain Nashi, Afkar, Arkan, Jino, dan si pemilik rumah yaitu Abri. Memang tak banyak yang Abri undang hanya teman dekatnya saja. Kalau Arkan itu usulan Acha pastinya.

Citra tersenyum menyapa mereka, berusaha menyesuaikam lingkungan untuk terbiasa bergaul dengab mereka.

"Jagungnya kita bakar sekarang aja ya." Akifah datang dan membawa kipas tangan. Mereka pun mengangguk mengambil jagung dan mengupasnya satu persatu. Perempuan bertugas mengupas jagung dan laki-laki bertugas membakar jagungnya.

Malam ini tak semendung malam kemarin, karena banyak bintang berkilauan di langit. Aroma dari jagung bakar yang di olesi mentega dan di bakar sudah mulai tercium oleh mereka.

Acha duduk bersila di teras di sampingnya ada Citra dan Nashi yang masih mengupas jagung.

"Gue punya tebak-tebakan nih. Artis, artis siapa yang masih ada hubungan sodara dengan jagung?" pertanyaan Acha membuat mereka berfikir.

"Anwar." tebak Abri.

"Anwar dari mananya anjir," timpal Jino. Mereka yang mendengarnya hanya terkekeh.

"Nunung?" tebak Afkar membuat mereka terbahak.

"Bukan," jawab Acha seraya terkekeh.

"Opie kumis?" jawab Jino.

"Palalu opie kumis, dari mananya," kata Abri.

"Jawabannya Deni jagung," jawab Acha.

Krikkrikrik

Tak ada yang bicara, namun kali ini Jino bersuara, "Deni cagur, bambang."

Karena terlalu fokus pada pertanyaan Acha, mereka lupa kalau jagungnya hampir gosong.

"Kaya bau gosong ya." Citra mencium bau gosong yang mulai menyengat pada hidungnya.

"JAGUNGNYA GOSONG," seru mereka kompak, dengan cekatan Abri melihat jagung yang nampak sudah menjadu hitam, ia angkat jagung itu dan menunjukkannya kepada mereka. Naasnya jagung itu sudah tak bisa terselamatkan pemirsa. Mereka yang melihatnya pun melongo. Lalu beberapa detik mereka tertawa terbahak-bahak melihat jagung itu sudah seperti arang.

Saat jagung itu tak mungkin bisa untuk di makan, akhirnya mereka membakar jagung yang baru di kupas. Semilir angin membuat acara barbeque malam ini menjadi lebih terasa. Udara malam yang menyentuh kulit membuat tubuh bereaksi dan bersidekap dada karena dingin. Mereka pun menyalakan api unggun kecil untuk menghangatkan tubuh mereka, karena mereka berada di ruang tengah yang luas namun di bawahnya masih ada tanah bukan kramik, layaknya kebun namun tak seluas orang kaya.

Achazia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang