Pengakuan

3.1K 120 11
                                    

Toneri ingat saat itu 11 tahun lalu ketika ia berusia 7 tahun. Saat itu panas terik membakar kulit. Ia menapaki jalanan berumput dengan kaki telanjang. Suara riak jangkrik musim panas menemani ke mana pun ia melangkah. Jika diperhatikan tampak jelas bekas air mata di kedua pipi gembilnya. Toneri menggosok kasar matanya yang memerah dan sembab karena menangis.

"Ibu jahat... Ibu tidak sayang Toneri." Gumam Toneri kecil di sela isakan. Pasalnya Kaguya, ibu dari Toneri, memarahi anaknya yang malah bermain bola voli dan tidak makan siang ditambah tidak makan sayur. Ia yang saat itu kesal karena terus-menerus dimarahi memutuskan kabur dari rumah ketika seruan ibunya semakin kencang.

"Panas." Aksi nekat baru ia sadari merugikan dirinya karena menyadari jika ia berjalan tanpa alas kaki di musim panas yang begitu terik itu namun ia terlalu gengsi untuk kembali pulang.

Toneri melanjutkan langkahnya walau ia merasa seolah kulit kakinya mengelupas dan terbakar oleh panasnya matahari siang itu. "Ugh... sakit..."

"Toneri?" panggil lembut seorang gadis membuat Toneri mendongak. Tak jauh dari dirinya berada, seorang gadis dengan gaun musim panas warna putih tanpa lengan dan topi pantai berdiri dan menatapnya.

"Kak Hinata?" ia baru menyadari jika ia berada di depan kediaman Hyuuga.

Hinata yang berusia 12 tahun saat itu mengernyit cemas. "Apa yang kau lakukan di luar?"

"Aku... aku..." jujur Toneri merasa malu menceritakan kepada lawan jenis betapa lemahnya ia. Namun belum sempat ia memberikan jawaban, tangannya segera ditarik oleh Hinata.

"Ayo cepat masuk ke dalam! Di sini panas!" seru Hinata. Mereka bersama-sama memasuki kediaman Hyuuga yang besar dan mewah itu.

Sejak saat itu setiap Toneri dimarahi oleh Kaguya, ia akan mendatangi Hinata. Di saat itu pula Hinata akan selalu mendengarkan ceritanya. Hal itu menumbuhkan kebiasaan hingga ketika Toneri dihajar oleh temannya, bocah itu mendatangi kediaman Hyuuga. Bukan menemui Kaguya.

"Astaga Toneri! Apa yang terjadi?!" pekik Hinata mendatangi Toneri yang saat itu berusia 10 tahun dengan luka lebam dan gores di pipi dan kedua tangannya.

Toneri terdiam. Ia berusaha menahan tangis. Kata teman-teman wajahnya seperti gadis dan memiliki tubuh kecil membuat bocah itu diganggu. Ia tidak ingin seperti gadis di depan Hinata dengan menunjukkan tangisannya.

"Ada apa dengan bocah itu?" celetuk Neji yang melewati ruang tamu.

"Kakak!" seru Hinata kesal. "Bantu aku! Jangan hanya bertanya seperti itu!"

Neji menatap lekat Toneri. Dalam ingatannya Neji tampak seperti orang yang mengerikan. Tubuhnya begitu tinggi menjulang, membuatnya merasa bagai kurcaci kerdil di hadapan pria berusia 23 tahun itu.

Neji mengendikan bahu dan menaiki tangga. "Itu masalahnya sendiri. Dia yang harus menyelesaikannya sendiri."

"Mou, Kak!" sungut Hinata kesal. Ia menatap lembut Toneri. "Pergilah ke kamarku, aku akan membawakan obat."

Toneri menurut. Ia melangkahkan kaki pendeknya ke arah kamar Hinata yang telah ia hafal di luar kepala. Kamar Hinata tidak pernah berubah. Terasa sejuk dan nyaman. Aromanya begitu wangi bunga dan vanila. Ia merasa dirinya mencemari kamar gadis itu dengan tubuhnya yang penuh keringat ditambah bercak darah di beberapa tempat.

"Nah. Perlihatkan lukamu." Ujar Hinata lembut. Dengan perlahan Toneri menunjukkan lukanya. Ia mendesis merasakan antiseptik menyentuh lukanya. Terasa nyeri dan perih. Sekuat tenaga dia tidak mengeluh kesakitan atau menitikkan air mata.

"Sebentar lagi selesai." Ujar Hinata menenangkan Toneri. Kamar itu kembali sepi. Embusan angin mengisi keheningan kamar itu.

"Aku dipanggil gadis." Ujar Toneri membuka suara.

AmoralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang