Terlarang

5K 183 11
                                    

Koridor yang sepi, murid-murid yang tidak lagi berkeliaran di sekolah, kelas-kelas yang kosong, dan panas tak lagi menyengat. Waktu sudah menunjukkan sore hari, waktu yang pas untuk murid melanjutkan aktivitas di luar jam sekolah. Kegiatan ekskul, kerja part-time, atau pun hanya pulang ke rumah.

Jika didengar saksama, hanya terdengar riuh rendah para siswa yang berada di luar sekolah. Bunyi berisik aktivitas yang terdengar begitu jauh dari dalam gedung sekolah. Namun jika diperhatikan lebih baik, masuk lebih dalam ke ruangan seni terdengar pekikan kecil di sudut ruangan yang dipenuhi oleh kanvas, easel, dan patung-patung torso yang terjajar rapi. Aroma cat menyeruak mengisi ruangan, seolah menutupi aktivitas kedua insan yang saling memadu kasih di dalam ruang seni. Lebih tepatnya pemuda yang lebih mendominasi.

"T-Toneri... cuku-ah!" belum sempat sang wanita menolak, sang pemuda kembali merangsek maju. Menghisap bibir plum wanita itu tanpa jeda. Menyesapi rasa manis di kedua belah bibir yang membuatnya gila.

"Mmmhh... akh!" Hinata–nama wanita itu–berusaha menghindar namun percuma di hadapan sang pemuda yang lebih kuat. Pemuda itu menarik pinggang Hinata, memaksa agar wanita itu hanyut dalam pagutan mereka. "Mmm~" walau terasa nikmat, Hinata masih punya akal untuk tetap menolak. Ia berusaha mendorong dada bidang sang pemuda yang tidak berdampak apa pun sama sekali.

Toneri–nama pemuda itu–mengabaikan protes dari Hinata. Ia lumat dan hisap bibir semerah delima itu. Memainkan lidahnya dengan lidah Hinata seolah mereka sedang berdansa. Merasakan manis saliva wanita itu yang begitu menggiurkan. Lidahnya dengan lihai menjilat, menyesap, melumat daging tak bertulang milik wanita itu. Permainan lidahnya yang intens dan tanpa jeda membuat saliva mereka tumpah akibat tak sanggup menampung gairah dari sang pemuda. Lipstick wanita itu mulai pudar dan berantakan.

Toneri melepas pagutan mereka. Benang-benang saliva yang menggoda tampak seolah menyambung bibir yang saling memuaskan satu sama lain. Toneri puas dengan hasil karyanya. Bibir Hinata yang bengkak dan mengkilat karena saliva dan lipstick yang berantakan di sudut bibir wanita itu benar-benar pemandangan yang nakal. Ia tahu jika wanita itu tidak lagi bisa berpikir jernih. Kedua iris perak berkabut, diselimuti nafsu dan uap yang keluar dari kedua belah bibir yang sensual. Ditambah wajah memerah padam dan rambut berantakan, menambah kesan erotis wanita itu.

"Mmngh..." lenguh Hinata sibuk mengatur napasnya yang terampas oleh ciuman maut Toneri. Dadanya naik turun, berusaha mengambil udara sebanyak-banyaknya. Ia dapat merasakan tubuhnya memanas disertai dengan pangkal pahanya yang terasa tidak nyaman. Ia mendelik ke arah Toneri. Apa yang pemuda itu lakukan hingga tubuhnya bereaksi erotis seperti ini?

Toneri mengurung Hinata yang duduk di meja dengan kedua tangannya. Aroma keringat dan tubuh wanita itu yang bercampur membuat Toneri tidak bisa lagi menahannya. Ditambah delikan itu yang tidak membuatnya takut namun justru menambah semangat untuk menggoda wanita itu lebih jauh lagi. Meski begitu, untuk mendapatkan bunga yang cantik dibutuhkan kesabaran yang lebih. Ia cukup tahu untuk tetap menahan diri, meski begitu bukan berarti ia tidak akan memberikan sentuhan lebih.

"Guru..." bisik Toneri seduktif membuat tubuh Hinata menggigil. Toneri dapat merasakan Hinata gemetaran di bawah kurungannya. Jemari panjang pemuda itu mulai berjalan. Melepas satu demi satu kancing kemeja wanita berusia 23 tahun tersebut.

"To-Toneri..." tahan Hinata, kedua tangannya menahan tangan kokoh Toneri. Kedua irisnya menatap Toneri memohon. "Ja-Jangan... k-kau sudah berjanji ti-eunghh!"

Toneri kembali menghujam bibir Hinata dengan ciuman. Seolah mengalihkan Hinata dari tindakannya saat ini. Pelan namun pasti ia tanggalkan kancing kemeja Hinata. Namun bibirnya tak tinggal diam, menambah kecepatan untuk menghisap, menjilat, menggigit kedua belah bibir wanita itu penuh nafsu. Ia tidak lagi menyembunyikan gairah yang ada di dalamnya. Saat ini yang ada di pikirannya adalah memuaskan hasrat terpendam dari obsesinya selama ini.

AmoralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang