Pagi hari, ketika fajar menyingsing.
Penduduk desa memulai kesibukan melakukan pekerjaan mereka. Keramaian bahkan sudah terjadi di pasar oleh para pedagang yang menyiapkan kios-kios mereka untuk berjualan. Seperti yang Licia lakukan kini, di kios kecilnya.
Ya, Licia Mabelle. Seorang gadis sebatang kara yang bekerja sebagai pedagang untuk memenuhi kebutuhannya. Kedua orangtuanya sudah tentram bersama Tuhan dan Licia telah merelakan mereka. Sehingga, tak ada yang bisa melunturkan senyumannya sekalipun itu kesedihan. Ia mencoba untuk menjadi gadis kuat dan gigih seperti pesan yang selalu ibunya berikan sewaktu masih hidup.
Dan disinilah Licia sekarang, tersenyum cerah dan menjadi mentari hangat bagi mereka yang melihatnya. Menghangatkan hati setiap mata yang memandang, sehangat sinar sang surya ketika pagi datang.
Bersama pie madu dan susu murni serta susu kedelai, gadis itu menjual santapan pagi yang digemari para penduduk. Setiap habis berbelanja, para pembeli tak melewatkan pie dan susu buatan Licia untuk mereka bawa pulang dan santap sebelum memulai hari.
Mereka bisa menikmati pie dan susu yang hangat, dari kios Licia.
Kios yang berada di antara kios-kios lain di pasar pagi Desa Amalthea. Sebuah desa yang berada di wilayah Kerajaan Altair, di bawah pimpinan Raja Agathias Leander. Desa yang menenangkan, sesuai dengan namanya; Amalthea. Segala sesuatunya telah tercukupi dalam desa tersebut. Perekonomian berjalan baik, yang didukung dengan adanya lahan pertanian, sungai bersih, dan hutan di sisi selatan. Semua itu menjadi pemenuh kebutuhan pokok bagi penduduk desa. Pekerjaan mereka pun saling melengkapi satu sama lain. Seperti petani, pedagang, atau banyak pula kedai yang dibuka oleh mereka yang pandai dan lihai dalam memasak atau mengolah makanan. Selain itu, tak ada kejenuhan yang melanda karena di desa tersebut memiliki seniman yang bermusik, berkarya, dan bersiap menghibur penduduk Desa Amalthea. Terlebih kala hari-hari perayaan.
Segala sesuatu yang berada di desa tersebut pun mampu menarik penduduk desa lain, dan bahkan banyak pula pengembara yang singgah dan merasa betah.
Itulah mengapa, ketika ada orang asing yang terlihat di pasar ini-tepatnya di sisi kios Licia sekarang-menarik gadis itu keluar dan menghampiri.
"Tuan? Kau seorang pengembara?"
Licia berbicara pada seorang pemuda yang sedari tadi nampak berdiri dengan gelisah di sisi kiosnya. Tas selempang yang tersampir di bahu pemuda itu nampak ringan, seperti tidak berisi banyak barang. Pemuda dengan rupa yang separuh wajahnya menghitam, seperti terkena racun tanaman.
Pemuda itu menoleh pada Licia dengan mata yang bergerak ragu dan was-was.
"Apakah kau seorang pengembara?" Licia kembali bertanya.
Butuh beberapa detik untuk pemuda itu memberi jawaban. Sebelum akhirnya mengangguk pada Licia yang bersikap ramah dan tersenyum kepadanya.
"Apa kau kehabisan makanan? Karena biasanya banyak pengembara datang ke pasar untuk mendapatkan makanan." tanya Licia kembali.
Dan pengembara itu mengangguk lagi."Aku butuh makanan."
Licia tersenyum mendengarnya. Yang sepertinya membuat pengembara itu kebingungan karena gadis dihadapannya selalu saja melengkungkan senyum.
Pengembara itu hanya tidak tahu, jika Licia merasa sangat senang ketika ia bisa membantu. "Kau bisa duduk selagi aku membuatkan makanan untukmu." Licia menunjuk sebuah kursi kayu setinggi meja kiosnya, sebelum masuk ke dalam kios kecil miliknya dan membuatkan pie untuk sang pengembara.
Tapi pergerakan Licia terhenti ketika pengembara itu mengatakan hal lain.
"Bisakah ... aku beristirahat di kiosmu? Jika kau tidak keberatan." pengembara itu melirik bagian dalam kios. "Aku belum mendapatkan tidurku, selama dua hari." sambungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
FantasySeorang gadis pedagang yang bertemu dengan pengembara. Licia, si gadis ceria yang kehilangan kedua orang tuanya. Hidup sebatangkara, tak membuatnya kehilangan lengkung senyum untuk menyapa. Seperti yang ia lakukan pada seorang pengembara asing. Tida...