"Aku ... tidak menyangka, Pangeran Kerajaan bisa menjadi buronan."
--)//(--
Tak ada sahutan dari Teon, atau lebih tepatnya belum. Karena ada pembeli yang menghampiri kios Licia. Sehingga mau tidak mau, gadis itu harus melayani pelanggan terlebih dahulu.
"Kau istirahatlah lagi, ya? Ini pembeli terakhir hari ini karena daganganku habis. Setelah itu aku akan membereskan kios, lalu kita pulang." ucap Licia, menepuk punggung tangan Teon dua kali sebelum akhirnya berkomunikasi dengan pembeli.Teon melirik sekilas tangan itu.
Seperti ada yang dipikirkannya kala menaruh tatapan. Cukup lama ia menatap, sampai suara kuda dengan penunggangnya yang memasuki area pasar, menariknya dari lamunan. Teon menajamkan pendengarannya. Respon tubuhnya waspada. Licia selesai melayani pembeli dan dagangannya habis. Harusnya Licia mulai berberes kios, tetapi gadis itu justru menunduk kembali pada Teon, lalu berucap ... "pengawal kerajaan datang. Aku yakin mereka mencari sang pangeran, alih-alih mengecek pasar daerah seperti yang mereka katakan."
Teon hanya diam mendengarkan Licia. Mata dan pendengarannya masih awas. Entah mengapa.
Hari sudah menjelang siang kala Licia membawa keranjang rotan berukuran sedang, berisi sayuran yang ia beli seusai menutup kiosnya. Dagangannya laku keras seperti biasanya. Licia memiliki banyak pelanggan tetap dan ia sangat senang akan fakta tersebut.
Jika biasanya Licia kembali ke rumah seorang diri, maka berbeda dengan hari ini. Ada Teon di sisinya, yang berjalan sembari mengamati sekitar. Perjalanan dari pasar ke rumahnya tidak memakan waktu yang terlalu lama. Sehingga tak banyak yang Teon amati selain penduduk dan suasana pedesaan yang hangat. Ya, cukup hangat untuk seorang yang memiliki rupa sepertinya.
"Dimana rumahmu?" Teon bertanya tiba-tiba.
Licia pun menoleh padanya. Tak lupa tersenyum, ia pun menjawab. "Tidak lama lagi kita sampai. Letaknya ada di dekat perairan Amalthea."
Terdiam, Teon kembali mengamati. Lalu tidak lama kemudian, mereka sampai di sebuah rumah sederhana yang berukuran normal seperti rumah-rumah yang ia lewati sepanjang perjalanan. Tak besar, namun pula tidak kecil untuk ukuran seorang Licia.
Apalagi ... "aku tinggal sendiri, jadi nyamankan dirimu."
Ya, kondisinya cukup untuk Licia yang tinggal seorang diri. Keduanya masuk ke dalam rumah dan Licia mempersilakan Teon untuk duduk.
"Tunggu di sini sebentar, aku akan membuatkanmu minum."
Licia kembali, namun tidak hanya dengan secangkir minuman hangat yang mengepulkan asap. Tetapi, juga dengan beberapa potong kain yang lantas gadis itu sodorkan pada Teon.
"Milik ayahku. Mungkin kau ingin membersihkan diri sebelum kita mengobati lukamu lebih lanjut?"
Teon menerima baju tersebut. Dengan raut kebingungan ia bertanya, "dimana ayahmu?"
Seperti tak pernah kehabisan stok senyuman, Licia kembali memamerkan lengkungan bibirnya yang manis. Meski, apa yang akan ia lontarkan bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Justru itu membuka luka hatinya. "Ayahku tak ada, ia menghilang ketika menjemput ibuku. Sampai sekarang tak kembali. Keduanya. Tidak ayahku, tidak pula ibuku."

KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
FantasySeorang gadis pedagang yang bertemu dengan pengembara. Licia, si gadis ceria yang kehilangan kedua orang tuanya. Hidup sebatangkara, tak membuatnya kehilangan lengkung senyum untuk menyapa. Seperti yang ia lakukan pada seorang pengembara asing. Tida...