"Lice, mengapa kau lebih memilih pemuda itu? Akulah calon suami yang pantas untukmu. Aku memiliki segalanya, sedangkan dia? Lihatlah, wajahnya saja cacat seperti itu. Apa yang ada dalam kepalamu itu?"
Lou mengoceh tak henti di depan kios Licia. Sedangkan gadis yang diajak bicara sibuk sendiri membuat adonannya dan terus mengabaikan Lou.
"Lice, kau.."
"Lou, bisakah kau diam? Aku tidak bisa berkonsentrasi jika kau terus bicara. Bagaimana jika adonanku tidak enak? Kumohon, pergilah saja." Licia mengatupkan kedua telapak tangannya, berharap Lou mengerti keadaan. Gadis itu tak ingin diganggu.
"Benar! Pergi saja sana, kau sangat berisik." Sahutan tiba-tiba hadir. R menyenggol bahu Lou sembari menggigit buah pir di tangannya. Penampilannya tidak aneh sama sekali. Berbeda dengan kesan pertama yang Licia lihat malam itu, kini R datang dengan pakaian seperti penduduk umumnya.
Lou menatap R dengan penuh telisik. Lalu berdecih. "Siapa kau ikut campur?"
"Aku? Siapa kau bertanya padaku? Syuhh syuhh. Pergilah. Aku mau mencicipi pie buatan si cantik Licia." R pun mendekat pada Licia. Membuat Lou kesal, lalu pergi dari sana.
"Apa dia selalu datang dan mengomel seperti itu?" R bertanya.
Licia menghela napas pelan. "Ya, tidak setiap hari. Tapi ia sering datang menemuiku untuk membahas perkawinan. Jauh sebelum Teon datang, tabiatnya memang sudah begitu. Aku kehilangan cara untuk membuatnya berhenti."
"Dia sesuka itu padamu," R kembali menyeletuk.
Tawa ringan Licia terdengar. "Entahlah, R. Aku tidak ingin terlibat apapun dengan orang sepertinya. Aku juga tidak mencintainya."
Memang, Licia tidak menyukai Lou. Sebanyak apapun materi yang pemuda itu berikan, Licia tidak mampu merasakan getaran di dadanya bersama pemuda itu. Dulu ayahnya pernah berkata, jatuh cinta adalah ketika kau merasakan hatimu bergetar berada di sisinya, dan amat merindukan kala tak bersama. Kau harus menikah dengan seseorang yang kau cinta, dimana seseorang itu juga mencintaimu. Karena sungguh, cinta satu pihak hanya akan membunuh salah satunya.
"Kau pernah jatuh cinta?"
Tiba-tiba saja R bertanya demikian. Pikirannya yang terkejut pun mendatangkan Teon dalam benak. Licia merutuki hal itu seketika. Bisa-bisanya ia langsung teringat pada pemuda pengembara itu ketika R bertanya? Sungguh di luar akal.
"Aku..."
Brakkk!!
Semua terkejut, tak terkecuali Licia yang belum selesai bicara. R menoleh, lalu keduanya mendapati Teon yang terjatuh di antara keranjang buah di kios sebelah. Wajah laki-laki itu lebam dan sudut bibirnya robek. Dia berdarah!
"Ya ampun!" Licia berseru panik.
Tidak, dia tidak ingin Teon kenapa-napa lagi. Sialan memang preman-preman pasar ini. Mereka senang sekali merundung Teon. Kemarin-kemarin, mereka hanya mengatai dan mencibir saja. Tapi sekarang? Keterlaluan.
"Heyy! Berhenti! Kenapa kau terus memukulinya!! Berhenti kubilang." Susah payah Licia melerai mereka.
Satu banding tiga, mereka benar-benar kurang ajar!
Licia dapat lihat, tiga preman itu juga mendapatkan lebam dan luka, tapi tidak sebanyak yang Teon punya.
Kini ketiga preman itu beralih pada Licia. Dengan langkah pelan preman itu mendekat. Licia dapat merasakan sorot mengerikan di sana. Sampai salah satu dari mereka berhasil menyentuh pergelangan tangan Licia hingga menarik tubuhnya.
Licia hampir saja dihempas oleh tangan besar itu tetapi gagal karena seseorang sudah menghajarnya keras.
Tentu, mana mungkin Teon akan diam saja. Sekalipun tubuhnya membiru lebam, ia tak akan biarkan Licia terluka. Apalagi oleh tangan-tangan kotor para bajingan itu. Satu per satu preman itu akhirnya kalah, pun karena mulai berdatangan pedagang pria membantu. Sampai pada akhirnya, perkelahian pun usai. Teon pun tumbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda
FantasySeorang gadis pedagang yang bertemu dengan pengembara. Licia, si gadis ceria yang kehilangan kedua orang tuanya. Hidup sebatangkara, tak membuatnya kehilangan lengkung senyum untuk menyapa. Seperti yang ia lakukan pada seorang pengembara asing. Tida...