09. Namanya, Bukan Mariya Putri Athalia

1.8K 142 4
                                    

     Sinar matahari di siang hari sangat menyengat. Suara bising kendaraan memekakkan telinga. Langkah gadis berambut panjang dikuncir satu itu terus menapakkan jejak kakinya ke aspal jalan. Melewati setiap kendaraan yang terparkir di pinggir jalan.

         Berbekal alamat dari surat sang ibu, Thalia pergi menuju keluarga besar Purnawirawan. Jaraknya cukup jauh dari sekolah dan kosnya. Letaknya berada di kecamatan sebelah, berdekatan dengan batas Kota dan Kabupaten. Sembari menyusuri jalanan gang, Thalia celingukan menyesuaikan alamat yang tertera di surat.

    Di sudut gang masih ada gapura bertuliskan 'Perumahan Cempaka', tapi di surat tersebut tidak ada petunjuk tentang perumahan Cempaka. Hanya alamat, nomor rumah dan ciri-ciri rumah. Dengan berbekal keberanian, Thalia masuk ke wilayah perumahan. Meneliti setiap nomor rumah. Rumah di sini dikatakan tidak sama alias bukan rumah yang bentuknya sama. Ada banyak rumah besar dengan halaman cantik di sini.

        Apakah ini yang dinamakan perumahan orang Elit? Luar biasa, Thalia sangat suka dengan ini.

        "Aduh!"

        Suara rintihan dari belakang membuat Thalia segera berbalik. Matanya melebar kaget, mendapati Thania yang jatuh tersandung tong sampah samping gapura.

        Untuk apa anak itu di sini?! Apa Thania membuntutinya?!

       "Thania? Kau?! Untuk apa kau ke sini?!" tanya Thalia, terkejut.

       Thania berdiri sempoyongan, lututnya berdarah karena terbentur aspal. Lagi pula, sejak kapan anak itu memakai rok span selutut? Bukankah rok span sekolah itu panjang? Apa dia ikut-ikutan gaya teman-teman modisnya?

        "A ... Aku takut Thalia kenapa-kenapa. Untuk apa Thalia ke sini?" tanyanya setengah meringis.

        "Bukan urusanmu!" jawab Thalia, tidak suka.

        Setengah pincang Thania berjalan mendekat pada Thalia. Bibirnya tiada henti meringis karena perih.

       "Sudah tahu terluka, kau buat apa ke sini?!" Thalia berdecak kesal.

       "Aku ingin di dekat Thalia, " sahut Thania dengan senyuman cerianya.

       Thalia memutar bola matanya jengah. Beralih jongkok di depan Thania, membuat saudara tirinya keheranan.

       "T ... Thalia? Untuk apa?" Thania gelagapan.

      "Cepet naik! Aku gendong sampai gardu itu! Jangan kebanyakan mikir. Cepat, sebelum aku tinggal!"

      Tanpa basa-basi Thania segera naik ke gendongan belakang Thalia. Membiarkan saudaranya itu menggendongnya menuju gardu alias gazebo khusus patroli.

      Meski Thalia masih benci dengan Thania, dia tidak mungkin meninggalkan Thania pincang-pincang seperti tadi. Hati nuraninya masih ada, lagi pun dia tidak ingin dianggap saudara jahat oleh orang lewat. Toh, hitung-hitung mencari pahala dan membuat ibunya senang.

      "Kamu tahu, Thalia? Mama khawatir denganmu, dia selalu ingin kamu pulang ke rumah. Bercanda dan makan bersama dengan senang di sana. Papa juga sama seperti itu, kemarin dia menanyakanmu pada satpam rumah. Kamu tidak ingin pulang, Thalia?" kata Thania dalam gendongan Thalia.

      "Tidak, "

      Thania tersenyum simpul, dia masih senang karena Thalia masih mau menjawab perkataannya daripada tidak sama sekali. Dia juga bersyukur Thalia memperhatikannya dengan menggendongnya seperti ini.

Takdir Kita Berbeda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang