52. Kisahnya, Akan Terus Berlanjut

1.6K 100 3
                                    

"Bagaimana perasaanmu, Thalia?"

Thalia tersenyum, kedua manik mata hitamnya tersirat rasa miris. Menatap sosok yang pernah hadir dan mengisi kenangan Thania, paman Rangga. Pria yang tidak pernah membuat masalah di masa kecil Thalia dengan keluarga Purnawirawan, bahkan untuk memunculkan batang hidungnya saja tidak pernah.

"Bagaimana perasaan Anda setelah membunuh ibu saya? Apa sudah lega?" tanya Thalia balik, menatap lekat pria berkepala empat di dalam jeruji besi.

Rangga tersenyum miring, "Tidak lega sama sekali. Aku tidak memperoleh apa pun, " jawabnya.

"Lalu, apa keinginan Anda sebenarnya? Saya tidak pernah tahu, " sahut Thalia, memegang erat jeruji besi di depannya. Berhadapan langsung dengan sosok yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.

"Kamu benar-benar ingin tahu alasan licikku, Atma Jaya?"

Thalia tersenyum simpul, dia seolah menatap wajah sedih ibunya di kedua mata paman Thania. Wajah sedih ibunya yang harus meninggalkan dirinya dan menelan kepahitan dalam hidupnya.

"Tentu saja. " Thalia merendahkan pandangannya, menatap keramik penjara dengan tatapan tak terbaca.

"Aku membunuh ibumu, karena ingin menaikkan derajat keluarga Deinara. Keluarga yang sempat diinjak dan diremehkan oleh keluarga Atma Jaya, tapi bodohnya ayahmu malah memiliki perasaan pada adikku. Apa yang orang pikirkan ketika berbesan dengan keluarga kaya yang pernah memberikan kesan buruk pertama kalinya? Bukankah tidak dihargai itu lebih sakit, ketimbang harus menelan pahitnya obat? Keluarga mana yang tidak tergiur, berbesan dengan keluarga besar Atma Jaya yang kaya dan terpandang? Tentu saja kedua orang tuaku, kecuali aku dan kembaranku yang bahkan muak mendengar nama Atma Jaya. " Rangga tersenyum miris, mendongakkan kepalanya.

Dalam diamnya Thalia mendengar penuh suara sumbang Rangga. Gadis itu memegang erat besi penjara. Seandainya dia bisa mengekspresikan emosi meluap-meluapnya, sudah pasti dia akan berteriak memaki pria di depannya. Tapi, sayangnya Thalia tidak bisa. Dia tidak ingin memakan butiran keegoisan tanpa melihat sudut pandang orang lain. Dia cukup malu dan muak bersifat egois.

"Lalu?" timpal Thalia, pelan.

"Kenapa kamu masih ingin mendengar alasan dari penjahat sepertiku? Bukankah lucu, kalau aku membuat alasan bohong yang masuk akal nanti? Aku ini orang gangguan jiwa, loh. Orang-orang menyebutku begitu. Kamu tidak takut?" Rangga terkekeh.

Kepala Thalia mendongak perlahan, menatap kedua mata pria di depannya dengan tatapan tenangnya. "Tidak. Saya yakin Anda bukan orang seperti itu. "

"Setelah Thania meninggal aku menemukan orang naif baru dari keluarga Atma Jaya, Thalia Tri Atma Jaya. Kenapa kamu menganggapku seperti itu? Bukan hal mustahil bagiku untuk membuat alasan bohong, Thalia."

Senyuman tipis terukir di wajah Thalia, raut wajahnya benar-benar merasa miris. "Saya tidak peduli, alasan bohong apa yang Anda buat saat ini. Tapi, saya ingin bertanya pada Anda. Apa yang Anda rasakan setelah menghilangkan nyawa sosok ibu bagi seorang anak perempuan? Puas? Seberapa puas Anda?"

Rangga terdiam, menatap mimik wajah gadis di depannya. Lamat-lamat ia menatap wajah Mariya yang selalu menatapnya tegas. Tidak ada yang ia rasakan setelah membuat Mariya kehilangan nyawanya. Puas? Apa yang membuatnya puas? Bahkan dia merasakan mendung di dalam hatinya kala menatap wajah pucat Mariya, serta tatapan kosong gadis berusia 13 tahun.

Bahkan tujuannya seakan lenyap dan tidak ada artinya lagi. Rangga seakan kehilangan tujuan dan arahnya untuk melanjutkan jalannya.

"Paman Thania yang pernah terjerat kasus korupsi dan konon melakukan pelecehan terhadap wanita, dan sekarang terjerat kasus pembunuhan. Apa yang Anda inginkan sebenarnya? Terlebih bermaksud ingin melenyapkan saya juga. "

Takdir Kita Berbeda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang