06. Makan Malamnya, Berbeda

2K 157 6
                                    

       "Sampai kapan kamu bengong di luar? Sampai Mimi Peri jadi Bidadari?"

       Thalia melirik Anggara yang muncul dari belakang. Berdiri di sampingnya dengan jarak sekitar satu meter. Sungguh anak alim, mengusik kenyamanannya.

       Anggara sendiri melirik kecil gadis di sampingnya yang diam tidak membalasnya. Lagi, gadis satu ini menghiraukan celetukannya. Membuatnya jadi berpikir dua kali, apa yang bisa membuat gadis ini terpancing untuk berbicara?

      "Kalau ada orang bertanya itu dijawab, " sindir Anggara.

     "Sampai selesai, " balas Thalia.

      Kerutan di dahi Anggara membuktikan jika pemuda itu keheranan dengan perkataan Thalia. Selesai? Selesai latihan?

     "Maksudnya?" tanyanya, tidak paham.

     Thalia menoleh. "Sampai semuanya adil dan tahu kenyataannya. Entah setelah seseorang itu pergi atau datang kembali."

     "Pergi? Kamu akan pergi ke mana?" tanya Anggara. Sesuatu di hatinya merasa tidak rela jika gadis itu pergi. Ia akui, jika baru dua hari gadis itu tinggal di sini, sudah mampu membuatnya terlihat nyaman dan senang. Daripada menatap rumahnya yang sepi, meninggalkan sosok ibunya sendirian.

      "Kakak berpikir aku yang akan pergi?" tanya balik Thalia.

      Anggara mengangguk cepat, membuat Thalia menghela nafas pelan. Kembali menatap kosong pagar rumah milik tetangga depan. Pagarnya indah sekali, membuat Thalia kesal ingin menggerogotinya. Apalagi sangkar burung yang kosong, meninggalkan seonggok buah pisang yang sudah tidak berbentuk lagi.


      "Entah, aku juga tidak tahu. Kalau pergi, ya, sudah. Memang takdirnya, " ucapnya, sekenanya.

      Mata Anggara membola, segera memegang kedua bahu Thalia. Menatap mata gadis itu lekat.

      "Kamu ... mau pergi ke pangkuan Tuhan? Jangan pergi!"
    

      Tubuh Thalia membeku, menatap wajah Kak Anggara yang dekat. Raut wajah pemuda di depannya sangat terbaca jelas jika ia tidak rela. Tapi, kenapa Kak Anggara tidak ingin dirinya pergi? Bahkan ayahnya saja tidak peduli terhadapnya. Semua orang-orang di luar sana hanya melihat sisi depannya saja. Jadi, alasan apa yang menjadikan dirinya percaya pada ucapan Kak Anggara?


       "Ucapan adalah doa. Kakak ingin aku pergi ke pangkuan Tuhan, begitu?" tanya Thalia sedikit sinis, menyingkirkan kedua tangan laki-laki itu dari pundaknya. “Kalau mengejek sekalian aja. Jangan bertele-tele.”

       “Bukan! Maksudnya tetap di sini aja, tetap bertahan meski banyak masalah. Tuhan memberi masalah pasti sesuai kemampuan manusia. Kalau menyerah begitu saja, cemen. Terkadang kalau orang banyak masalah akan lupa cara bersyukur. “ Anggara menghadap depan, turut menyorot pagar rumah tetangga depan.

       “Aku kurang bersyukur, ya?” tanya Thalia, merenung.

       Anggara menanggapi dengan mengangkat kedua bahunya, “Entah, kamu sendiri yang bisa menilai. Sebelum makan sesuatu, perlu berpikir. Bukan berpikir, bagaimana proses makanan itu jadi lezat, melainkan bagaimana orang lain bisa makan makanan yang kamu makan? Contohnya saat kamu makan pizza, pernah berpikir akan ada orang yang menginginkan makan makanan itu juga? Tidak, ya? Atau saat tidur di kasur empuk? Atau saat tidak perlu pusing-pusing memikirkan biaya sekolah? Sudah berapa lama lupa, bahwa di dunia ini bukan hanya kamu saja yang hidup?” ujarnya.

Takdir Kita Berbeda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang