49. Firasatnya, Tidak Salah

1.1K 82 4
                                    

      "Om sudah dapat informasi, paman Thania sudah ditangkap kemarin. Kamu tidak ingin melihatnya sebentar?"

      Thalia menggelengkan kepalanya, menatap jalanan dari kaca jendela mobil. "Nanti saja."

      Agung tersenyum tipis, "Nanti kapan?" tanyanya.

      "Nanti setelah dijatuhi hukuman, baru Thalia akan melihatnya." Thalia menghembuskan nafasnya, menatap jalanan yang sangat familiar di ingatannya.

      Jalanan bersih di dalam perumahan Elit, tentu saja jalan menuju rumah pemimpin keluarga Atma Jaya saat ini. Thalia sendiri tidak tahu, kenapa dia harus kembali ke sini secara spontan? Jawab saja, karena mirisnya ia tidak ingin kembali merasakan kehilangan untuk kedua kalinya.

      "Jika ada apa-apa, Om ada di mobil. Keluarlah segera, kalau memang tidak ada yang bisa membuatmu bahagia di sana." Agung melajukan mobilnya, memasuki halaman rumah yang tampak luas dan rapi.

      Mobil hitam mengilat tersebut berhenti tepat di depan rumah besar Hendri. Tidak perlu mengetuk pintu besar dan tinggi itu, pintu tersebut sudah terbuka lebih dulu dan menampakkan sosok tinggi dengan tatapan tak terbacanya menanti sosok di dalam mobil hitam tersebut keluar. Hendri Tri Atma Jaya yang menunggu sosok yang ia harapkan keluar dan menemuinya.

     Perasaan panas dan ngilu menjalar di hati Thalia, gadis itu keluar dari mobil. Sebelum Thalia melangkah keluar dari mobil, dia masih sempat melihat Pamannya meletakkan kepalanya di kemudi mobil. Pamannya tidak ingin keluar, itu tidak apa.

     Dress semata kaki berwarna navy dan rambut panjangnya yang biasa Thalia kuncir satu, apalagi yang perlu Thalia ubah di mata Ayahnya? Bahkan, Thalia tidak bisa mengubah wajah acuhnya menjadi wajah semringah dengan senyuman lebar saat ini. Keramik lantai di tangga rumah satu-persatu Thalia injak, sampai menuju atas gadis itu merasa de javu.

      Dia pernah menaiki tangga yang sama bersama ibunya, namun di waktu yang berbeda dengan sekarang. Di waktu saat ibunya dengan dirinya yang masih umur 10 tahun dibawa ke rumah besar itu oleh ayahnya. Dan di waktu saat ia menatap kosong jasad ibunya dibawa pergi. Meski waktunya berbeda, tetapi tempatnya masih tetap sama.

      Dan sekarang dia harus menginjakkan kembali kakinya di tangga ini. Thalia merasa ingin tersenyum, apa langkah kakinya saat ini membawa kebahagiaan atau kesedihan baginya?

      "Thalia. "

     Suara lirih berasal dari sosok Hendri Tri Atma Jaya yang menunggu kedatangan Thalia dengan tatapan tak percayanya. Apa suara lirih tersebut cocok untuk sosok Hendri yang angkuh dan tegas selama ini?

      "Aku ingin menjenguk Thania. Tante Ningsih kemarin malam mengabariku, kalau Thania sakit. " Thalia menatap lurus ke depan. Bukan, bukan pada Ayahnya, melainkan pintu rumah yang terbuka kedua-duanya.

      Biasanya pintu tersebut hanya dibuka setengah, kenapa sekarang semuanya dibuka lebar?

      Thalia tidak ingin percaya diri dengan konyol, menganggap jika Ayahnya menyambut dirinya dengan penuh.

      "Begitu, ya? Ayo, masuklah." Hendri meraih tangan Thalia, namun urung karena gadis itu menarik tangannya kembali.

     "Aku bisa jalan sendiri, Thalia masih ingat letak kamar Thania, " ucap Thalia.

     Tatapan Thalia meredup, menatap wajah Ayahnya yang lesu. Senyuman lemahnya ikut menuntun Thalia menuju kamar Thania. Sangat miris, bahkan Thalia tidak bisa mengangkat tangannya hanya untuk mencium tangan ayahnya. Kaku luar biasa menggerogoti tubuh Thalia sekarang.

Takdir Kita Berbeda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang