"Sorry, Dek. Tapi kursinya udah ada yang makai," Bima berusaha menjaga nada suaranya agar tetap ramah ketika salah satu adik kelas hendak mengambil kursi panjang di seberangnya.
"Oh, maaf. Kirain nggak ada yang makai," adik kelas itu berlalu menghampiri temannya yang menunggu tak jauh darinya.
"Nggak apa-apa," Bima mengulas senyum tipis sembari mengamati adik kelas itu.
"Heran, kursi kantin kan milik bersama tapi malah dijadiin hak milik sama dia. Kayak punya bapaknya aja," adik kelas itu berbisik sinis kepada temannya.
"Emang punya bapaknya," temannya balas berbisik.
"Hah? Emang iya?"
"Kakeknya yang punya yayasan terus bapaknya donatur tetap di sekolah,"
"Oh, ya? Waduh, gue cari gara-gara dong?"
"Iya. Makanya lo sekarang tutup mulut. Mending kita cari kursi yang lain aja,"
Gue denger ya, setan! Bima memaki dalam hati. Senyum tipisnya luntur begitu saja seiring dengan kepergian dua adik kelas kurang ajar itu.
Memangnya kenapa kalau Kakeknya yang punya yayasan? Atau Papinya donatur tetap di sekolahnya? Masalah buat mereka? Toh, karena Kakek dan Papinya itu mereka bisa sekolah dengan nyaman sekarang.
Bima mendengus, lantas menyedot es teh yang sudah tinggal setengah itu sampai habis. Ia tiba-tiba kesal karena seseorang menyinggung tentang keluarga besarnya. Ia muak karena selalu dipandang sebagai cucu pemilik yayasan dan anak donatur tetap sekolah. Tidak bisa ya mereka memandangnya sebagai Bima saja tanpa embel-embel nama belakang keluarganya?
"Kusut amat tuh muka, Bim."
Komentar itu membuat Bima menoleh lalu mendecih sinis. "Kelas kita pindah ke Mars kali ya, ditungguin dari tadi nggak nongol-nongol." Ia tak bisa menahan dirinya untuk tidak berucap sinis begitu melihat teman-temannya muncul dengan wajah tanpa dosa. "Es teh gue sampai habis gara-gara nunggu kalian,"
"Lebay! Nunggu berapa lama sih lo emangnya?" Nina mencibir seraya melangkahi kursi panjang di seberang Bima dan duduk di dekat tembok. Aksa mengekor di sampingnya diikuti oleh Karina yang duduk di paling ujung.
"Tau, kayak nunggu seabad aja!" Giselle yang mengambil tempat di samping Bima ikut mencibir. "Gue yang pernah nunggu hampir lima belas menit aja nggak heboh kayak lo,"
"Halah, terserah. Salah mulu gue perasaan," Bima makin dongkol. Teman-temannya ini memang tidak pernah perhatian padanya.
Bukannya merasa bersalah karena sudah membuat dirinya menunggu sendirian selama hampir sepuluh menit di kantin untuk menjaga meja, mereka malah mengatai Bima. Benar-benar teman yang sangat baik.
"Sabar, Bro. Tadi sempet ada drama labrak-melabrak di kelas makanya lama," Aji yang berdiri di tepi meja menjelaskan seraya menepuk-nepuk bahu Bima guna menenangkan cowok itu.
Bima mendelik. "Siapa yang kena labrak?"
"Tuh, temen lo yang jadi rebutan satu sekolah!" Aji menunjuk Karina yang langsung mendelik.
"Apaan sih!"
"Jambak-jambakan nggak tadi?" Bima bertanya dengan antusias, amarahnya sudah meluap entah kemana. Ia sangat suka keributan.
"Nggak sempat, keburu gue lerai." balas Aji.
Bima menampakkan raut kecewa. "Kenapa dilerai, sih? Harusnya tuh tunggu sampai jambak-jambakan dulu baru dilerai,"
"Monyet!" Karina meraih tisu di depannya, meremasnya menjadi bola lalu melemparnya penuh dendam ke arah Bima yang segera menghindar.
"Lo semua nggak pesen? Gue pesen duluan ya," Tama yang duduk di samping kanan Giselle beranjak dari duduknya.