Menjadi juara pertama dalam kompetisi dance tingkat Nasional adalah cita-cita yang ingin diraih Tara sebelum pensiun dari jabatannya sebagai anggota ekskul dance di sekolahnya. Selama ini timnya selalu mendapatkan juara kedua dan ketiga dalam tingkat antar Provinsi. Ketika timnya diumumkan maju ke babak final, Tara senang bukan main.
Intensitas latihan bertambah, yang awalnya hanya seminggu dua kali menjadi 4 kali. Bahkan jam istirahat ketika sekolah juga dipakai untuk berlatih. Tara dan timnya bersungguh-sungguh untuk memberikan yang terbaik sebelum masa pergantian jabatan mereka.
Namun sepandai-pandainya kita merangkai rencana dan berangan-angan, takdir selalu punya jalannya sendiri.
Di tengah-tengah latihan intensif yang dijalani dan kompetisi yang semakin dekat, Tara mengalami cedera lutut yang mengharuskannya untuk beristirahat total dari kegiatan yang berhubungan dengan dance. Butuh beberapa bulan untuk bisa sembuh dan tentu saja kompetisi yang akan berlangsung lima hari lagi itu tidak bisa menunggu.
Mental breakdown langsung menyerang Tara dan tim, apalagi untuk kompetisi kali ini Tara berperan sebagai center dalam koreografi mereka. Perlu waktu dan tenaga yang besar untuk kembali mengubah dan menyusun koreo, dan jelas kondisi tim kini sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.
"Maaf, Tar. Setelah ngelakuin diskusi yang panjang, tim kita mutusin buat tetap maju lomba," kata Doni—ketua ekskul dance ketika menjenguk Tara di rumahnya bersama dengan tim. Lelaki itu kemudian menunduk, tak berani menatap Tara yang kini mengulas senyum lebar.
"Bagus, dong! Jangan sampai cuma karena gue cedera, malah kalian batal ikut lomba. Apalagi lomba ini kan cita-cita anak-anak dari dulu," balas Tara.
"Bukan cuma anak-anak, juga cita-cita lo," Hana—salah satu anggota ekskul dance, menyahut dengan suara bergetar. "Kalau bukan karena lo yang meyakinkan kita buat daftar lomba ini, nggak mungkin kita bisa sampai sini sekarang."
Tara terlihat baik-baik saja di depan Doni, Hana dan teman-teman satu ekskulnya yang datang menjenguk setelah pulang sekolah. Tara juga terlihat baik-baik saja ketika teman-teman satu kelasnya menjenguk. Tapi setelah teman satu kelasnya sudah pulang dan tersisa teman-teman terdekatnya, Tara tidak bisa menahan tangisnya ketika Nina mengambil tempat di sampingnya lalu meraihnya ke dalam pelukan seraya berujar,
"Nggak apa-apa, Tar. Nggak usah pura-pura baik-baik aja. Kalau lo mau nangis, nangis aja."
Maka tangis Tara pecah saat itu juga. Cowok dengan mata sipit dan gigi kelincinya yang lucu itu menangis kencang di pelukan Nina sampai bahunya berguncang hebat.
"Padahal gue udah berusaha sekeras yang gue bisa buat lomba ini, tapi kenapa? Kenapa di saat lombanya udah dekat, kenapa gue malah cedera?" akhirnya Tara bisa mengungkapkan perasaannya ketika dokter memberi vonis cedera dan harus istirahat total.
Belakangan ini Tara merasa lututnya sedikit nyeri, tapi dia tidak menghiraukan rasa nyeri itu dan tetap berlatih. Ia berpikir nyeri yang dirasakannya akan hilang dengan sendirinya tapi nyatanya tidak. Semakin hari rasa nyeri di lututnya semakin bertambah parah dan puncaknya adalah kemarin sore. Setelah pulang dari rumah Bima, Tara yang hendak membersihkan diri tiba-tiba merasakan rasa nyeri yang hebat pada lutut kirinya.
Ia jatuh terduduk di lantai dan berteriak kesakitan seraya memegangi lutut kirinya. Untungnya saat itu kakak lelaki Tara lewat di depan kamarnya dan mendengar teriakan kesakitan adiknya itu. Tara segera dibawa ke rumah sakit terdekat dan dokter memberinya vonis cedera lutut. Lutut Tara diberi perban untuk menekan lutut supaya mencegah terjadi penumpukan cairan dan menjaga stabilitas serta kesejajaran lututnya. Untuk sementara waktu Tara tidak boleh melakukan aktivitas yang memberatkan kakinya terutama bagian lutut.