Sebelum mengenal pahitnya dunia, Giselle Kamaniya pernah berbangga hati menjadi seorang anak tunggal. Semua kebutuhan dan segala permintaannya terpenuhi tanpa banyak drama. Namun di usianya yang menginjak delapan tahun, Giselle tau ada harga yang harus ia bayar atas semua kemewahan yang dia miliki selama ini.
Giselle mulai dimasukkan ke berbagai macam les, mulai dari les piano, les gitar, hingga les menari. Menginjak masa SMP, Giselle dipaksa untuk mengikuti organisasi OSIS dan diharuskan untuk menjadi minimal wakil OSIS. Ia seolah dituntut untuk menjadi sempurna.
Jadwal sehari-harinya diatur langsung oleh sang Mama. Tidak ada bermain bersama teman, ia hanya diperbolehkan bersama teman-temannya ketika sekolah dan jika ada tugas kelompok, selebihnya Giselle akan di rumah mempelajari ini dan itu.
Giselle juga mulai dibawa kedua orang tuanya untuk ikut ke acara bisnis-bisnis, berusaha mengenalkan dunia mereka pada sang anak yang akan menjadi penerus selanjutnya.
Memasuki masa SMA, Giselle mulai muak diatur-diatur dan memutuskan untuk memberontak. Ia menolak mengikuti organisasi apapun di SMA, ia ingin bebas setelah masa-masa mencekik yang dilaluinya ketika SMP dulu. Giselle diam-diam pergi ke klab malam ketika kedua orang tuanya pergi untuk urusan bisnis, mencoba membolos hingga merokok. Namun kebiasaan itu berhenti ketika Giselle mulai menemukan kenyamanan bersama teman-temannya.
"Jadi, kita mau kemana?" Aji bertanya setelah melajukan motornya keluar dari komplek perumahan Giselle.
Bukannya menjawab, Giselle malah menyenderkan kepalanya pada punggung Aji yang tengah fokus menyetir. Kedua matanya terpejam merasakan semilir angin malam yang menerpa wajahnya. Ia lebih rileks sekarang, kepalanya yang terasa penuh sudah berangsur-angsur membaik. Memang pergi dari rumah yang terasa menyesakkan adalah keputusan yang tepat.
"Sel?" panggil Aji seraya melirik Giselle yang terpejam lewat spion motornya. "Lo tidur?"
"Nggak," Giselle menjawab dengan nada lirih.
Aji menipiskan bibirnya mendengar sahutan Giselle yang tak semangat. Ia sudah bisa menebak ada sesuatu yang terjadi di rumah Giselle ketika perempuan itu menghubunginya untuk segera ke rumah. "Jadi, kita mau kemana?" ulangnya.
"Terserah lo aja, Ji. Mau lo bawa gue ke kolong jembatan juga nggak papa. Yang penting jauh dari rumah," kata Giselle asal. Kemana pun Aji membawanya pergi, Giselle tak peduli. Yang penting ia bisa menjauh dari sang Mama untuk sejenak.
Aji mendecak tak suka. "Kok gitu, sih, ngomongnya?" ia terlihat berpikir sejenak sebelum kembali berucap, "Mau ke rumah gue aja?"
"Terserah,"
"Oke," maka Aji melajukan motor menuju arah rumahnya.
***
Motor yang dikendarai Aji berhenti tepat di pekarangan rumahnya, membuat adik bungsu lelaki itu yang baru saja melepas sandal hendak masuk ke dalam rumah menoleh mendengar suara motor yang familiar.
Dahi adik Aji langsung mengernyit. "Lho, Abang kok balik lagi? Katanya tadi mau keluar—Eh, sama siapa nih?" mata bundarnya berbinar menatap seorang perempuan di boncengan motor kakak sulungnya. "Kak Giselle?" ia mengenali perempuan itu.
"Habis darimana lo, Tong?" tanya Aji seraya mematikan motor. Setelah memastikan Giselle sudah turun, Aji melepas helm dan meletakkannya ke atas spion. Ia menerima uluran helm Giselle dan meletakkannya ke atas spion yang satunya.
"Dari warungnya Koh Felix, disuruh Bunda beli gula soalnya udah habis," jawab Arwin—adik bungsu Aji seraya mengangkat kresek hitam di tangannya. Bocah laki-laki kelas enam SD itu beralih pada Giselle yang tersenyum ramah di belakang kakak laki-lakinya. "Kak Giselle nih pacarnya Abang, ya?"
![](https://img.wattpad.com/cover/246204511-288-k689268.jpg)