Weekend selalu identik dengan kemalasan. Setelah mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang tiada habisnya pada weekdays, weekend adalah waktu yang tepat untuk beristirahat. Bangun lebih siang, tidak melakukan kegiatan apapun, intinya hari Sabtu dan Minggu adalah hari kebebasan.
Tapi hal itu tidak berlaku untuk Bima. Alih-alih beristirahat di rumah atau nongkrong bersama teman-temannya, cowok itu malah diwajibkan untuk bertemu dengan perempuan-perempuan pilihan sang Mami yang kebanyakan merupakan anak dari teman wanita itu. Iya, Bima sedang dijodoh-jodohkan oleh Maminya itu meski sekarang masih SMA. Jika bisa memilih, Bima tidak akan mau mengikuti kegiatan konyol yang sudah berlangsung hampir satu setengah tahun lamanya ini. Sayangnya, dia tidak dalam keadaan untuk bisa menolak.
Seperti pada Sabtu yang cerah ini, Bima tampak tampan dengan sweatshirt berwarna dark grey dipadukan celana jeans dark blue. Rambutnya disisir rapi dan ditata membentuk comma hair. Di depannya duduk seorang perempuan yang meskipun cantik tapi terlihat songong, lihat saja alisnya yang menukik tajam itu! Ugh! Kalau bisa Bima ingin cepat-cepat kabur dari tempat ini.
Ia amati sekilas perempuan yang mengenalkan dirinya sebagai Vera itu. Long sleeve crop top berwarna hitam dipadukan bawahan wide leg jeans dark blue betulan membuat perempuan itu cantik dan modis. Meski rambut wolf cut nya dibiarkan tergerai di sisi kanan dan kiri pundaknya, dua jepit berbentuk bintang pada poninya menambah kesan manis. Vera benar-benar tidak bercela.
"Lo udah kayak barang dagangan tahu nggak? Di obral sana-sini sampai laku," cemoohan Vera membuat fokus Bima yang sedang mengamati perempuan itu buyar seketika.
Baiklah, Bima tarik kembali perkataannya tadi. Vera memang tidak bercela, tapi mulutnya sangat berbisa.
"Iya, tahu." balas Bima lalu memasukkan potongan ayam gulai ke dalam mulutnya. Hm, rasanya lumayan untuk ukuran sebuah minimarket yang baru saja berdiri.
Ngomong-ngomong, keduanya sedang berada di Family Mart, minimarket yang beberapa bulan ini baru saja membuka gerainya di beberapa tempat, untuk menikmati sarapan sekaligus berbincang-bincang yang mungkin akan jadi ajang tarik urat karena sikap Vera yang menyebalkan.
Melihat reaksi Bima yang kelewat santai setelah dicemooh, Vira mendelik. Dia menunjuk Bima dengan spork plastik hitam di tangannya. "Biar gue tebak. Bukan cuma gue yang ngomong kayak gini ke lo,"
Bima terlihat berpikir sejenak lalu menjawab, "Lo orang kedua puluh kayaknya. Atau dua puluh satu—entahlah, gue udah nggak ngitung lagi."
Vera mendecak sembari menurunkan spork-nya, entah mengapa tiba-tiba merasa kasihan. "Lo kok mau-mau aja, sih, Bim, di obral sana-sini sama Mami lo? Tenang lagi. Gue baru dua kali ikut ginian aja rasanya mau ngehancurin bumi sama isinya!"
Bima memutar bola matanya. "Lebay," ia menyedot sekilas caramel macchiato-nya sebelum kembali memotong ayam. "Gue nggak bisa nolak permintaan Mami," lanjutnya.
"Ya makanya lo cari pacar dong! Mami lo nggak akan ngejodoh-jodohin lo sama anak teman arisannya kalau lo udah punya pacar," Vera jadi gemas sendiri dengan reaksi Bima yang kelewat santai.
Bima menghentikan kegiatannya sejenak, ia tatap Vera lurus-lurus. "Menurut lo, gue nggak pernah pacaran?" tanyanya.
"Iya lah!" Vera menjawab mantap.
"Salah besar. Gue pernah pacaran,"
Vera jelas terkejut, mulutnya spontan menganga. "Bohong! Kalau lo pernah pacaran, nggak mungkin Mami lo sampai se-desperate itu ke lo!"
