0.4: Talk It Out

76 39 26
                                    

KAI

Menjelang senja, langit biru berganti keunguan. Menurut prediksi gue yang bersumber dari ke-sok-tahuan, nanti malam akan hujan. Tapi, melainkan bergegas pulang ke rumah, gue malah sedang menelusuri jalan setapak di taman yang selalu merona hangat karena bunga krisan yang tumbuh lebat di sepenjurunya. Gue selalu menyukai suasana tempat ini. Seterik apa pun matahari bersinar, angin sejuk selalu berhembus karena teduh dari berbagai pohon dan tanaman yang tumbuh rapi di atas rumput hijaunya.

Nada dering berbunyi enam kali, telepon diangkat.

"Ya, kenapa?"

Gue berdecak. "Kok lo kayak ga antusias banget gitu gue call?"

"Sakit kali, gue semangat ditelepon sama lo."

"Buka pintu, cepetan."

"Ngomong apa sih lo? Pintu apa?"

"Rumah lo lah! Gue di depan."

"Ih, kok ngga bilang? Gue lagi ga di rumah."

"Lah, lo di mana?"

"Alfamart depan taman."

"Sama siapa?"

"Sendiri sih, tapi tadi gue ketemu Baba."

"Oh, Baba disitu juga?"

"Iya, tadi. Sekarang gue sendiri, dia udah pulang."

"Ooh, ya udah tunggu di situ. Gue kesana aja."

"Oke."

"Oke," Gue mematikan sambungan telepon, bergegas menyusul Airi.



///

Napas gue setengah tersengal karena berlari kecil dari rumah Airi yang nggak sedekat itu dengan taman. Hembusan angin sejuk menerpa rambut gue. Lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu tanda malam semakin dekat.

"Lambat deh lo!" Di ujung perosotan berpusar, Airi duduk dengan kaki diluruskan. Ia masih memakai rok pendek marun sekolah dengan sweatshirt hitam kebesaran, dan es krim cup rasa stroberi di satu tangan.

"Lo kenapa masih suka banget es krim itu sih? Rasanya lebih kayak kopyor daripada stroberi," Gue meletakkan pantat gue di atas tanah berpasir dan merampas es krim itu dari tangannya.

"Ngatain, tapi tetep diambil."

"Emang ga enak kok. Gue cuma mau gangguin lo aja."

Ia merampas kembali es krimnya sambil mencibir, lanjut memakannya. "Lo gimana?"

"Gimana apanya?"

"Ya... yang kemarin. You don't wanna talk about it?"

"Maybe I do, maybe I don't."

"Plinplan."

"Ya ... nggak salah sih."

"Emang, apalagi alesan lo ngajak ketemu?"

"Yah... ketemu aja. Gue tau, lo seharian nahan kesel karena gue kacangin."

"Ga salah sih."

"Maaf."

"I know you too damn well. Mending diem."

"Dih, gue minta maaf responnya gitu?"

"Iya. Salah?"

Gue hanya tertawa. Ada jeda kesunyian di antara kami.

"Are you hurt?" Tanyanya, mengacu pada lebam di alis gue.

Lidah gue kaku. Gue menggandakan kesunyian tadi. Ia menatap gue, gue menatap lutut celana gue yang kotor karena pasir.

"Ga usah jawab, kalo ga mau."

Kini, gue balik menatapnya yang menyuap es krim dengan canggung. Rambut coklatnya menari awut-awutan diterpa hembusan angin.

"I am."

Tanah pasir membenam jemari gue.

"Banget, bisa gue bilang."

"Boleh tau kenapa?" Gue tau ia tau gue pasti membolehkan.

"Gue udah sering bilang kan, bokap gue dulu kasarnya gimana? Tapi sekarang udah nggak."

Dia mengangguk.

"Yeah, that didn't last for long."

"Ada apa?" Tangannya berhenti menyuap es krim.

"Mana gue tau," gue berbaring sembarangan di atas pasir yang mengandung sekian banyak kuman. Mungkin ada bekas tai kucing. "Sometimes, I'm just so foolish to think that I know what's going on around me. Sampe kemudian, sesuatu terjadi, dan gue sadar gue ga tau apa-apa. Gue cuma bisa diem di tempat, nunggu hal selanjutnya datang untuk tau apa yang sebenernya terjadi."

Airi ikut berbaring di sisi gue. "Gue tau perasaan itu."

"Iya. Kayak tai."

Gue tersenyum, "Tumben lo mau ikut tiduran."

"Stop acting like it's the first time. Kalo bukan sama lo, gue juga ogah." Ia menyeruput es krim yang sudah mencair dengan mulutnya. "I don't want you to get hurt."

Gue menoleh, memandang wajahnya dari samping. Kedua matanya menatap kosong ke arah langit. Napas gue tertahan. Selama ini, gue selalu berusaha bertahan sendiri, memenuhi perasaan gue sendiri, tanpa tau seberapa besar kekosongan di dalam diri gue. Tetapi, perasaan yang bersumber dari kalimat-kalimat pendek Airi selalu berhasil membuat gue merasa penuh dan lupa akan bagian terlupakan itu.

Mungkin, salah satu perasaan sepele itu alasan gue ingin terus dekat dengannya.

"Neither do I."

"Orang tua emang aneh. Satu saat, lo ngeliat mereka dan lo pikir lo tau apa yang ada di pikiran mereka. Satu saat lagi, lo belajar bahwa sedekat apapun lo sama seseorang, lo ga bakal pernah benar-benar kenal sama mereka." Benak Airi berkelana di antara rasa sakitnya yang lampau.

Gue terenyuh. She knows what she's talking about. Airi pernah membenci ibunya seperti gue membenci Papa. Masa-masa pahit itu udah berlalu bagi Airi, tetapi bayangan ketika ia hancur-secara harfiah-dulu akan selalu membekas di belakang kepalanya. Gue merasa iba terhadap Airi. Terhadap diri gue sendiri. Seringkali, gue menertawakan sinotren di televisi karena segala drama yang dialami tokoh utama nggak masuk akal, melupakan kalau terkadang, hidup sama buruknya dan nggak masuk akalnya.

"Gue sering mikir, gue ngerasa capek karena sepanjang hidup gue, yang gue lakuin selalu nunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dan bereaksi seadanya. I wish I could be the one unfolding the stories, instead of just watching by and endure the pain."

"Iya, sama."

Petang itu, hujan kembali membasahi seluruh kota. Kali ini giliran gue yang kesusahan pulang karena derasnya hujan dan harus menunggu di rumah Airi. Gue chat mama, bilang terpaksa pulang terlambat. Di dalam hati gue tertawa senang.

Anywhere's better than to be at that place, so called "home".

///

hi babies hows ur day

akhir2 ini gue lg rada susah nulis krn gatau anj kayak susah dpt mood yg pas

tp harus ttp bisa lanjut sebagai pembuktian diri 😆🦵🏻

jangan lupa vomments sayang2ku mwah

- r

feel & fall ⨉ KAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang