0.8: Magnolia

78 32 42
                                    

AIRI

Setiap orang pasti memiliki satu kualitas dari orang lain yang sangat dihindari. Contohnya seperti Kai, ia menghindari orang yang mengingatkannya pada papanya. Versi gue, adalah orang-orang yang mengingatkan pada diri gue yang dulu.

Gue benci membahas masa lalu. Bukan cuma karena banyaknya hal pahit di masa lampau, tetapi gue juga membenci diri gue yang dulu. Taruhan, misalnya ketemu diri gue yang lama, bisa-bisa gue ambil setiap kesempatan yang ada untuk mengajaknya berantem.

Jika orang-orang melihat sosok dengan banyak hal aneh terjadi di masa lalunya - ayah yang bunuh diri, ibu yang cepat sekali menikah setelahnya, ayah tiri dengan perangai yang konyol, dan segala tambahan di antara semuanya - gue rasa orang-orang hanya akan mengangguk-angguk saat melihat sosok tersebut tumbuh membentuk karakter yang buruk. Yah, dulu gue adalah sosok seperti itu. Sifat gue yang bebal, merasa masalah gue paling penting, dan cepat menilai adalah alasan orang lain menghindari gue, dan juga sebaliknya.

Gue nggak pernah mengerti makna "sahabat".

Gue nggak pernah bisa memprioritaskan perasaan orang lain di atas perasaan gue sendiri.

Gue nggak punya celah untuk orang lain di hati gue, selain untuk diri gue sendiri. Walaupun sampai sekarang pun, gue sendiri nggak bisa memenuhi semua celah itu sendirian.

Everyone knew better to not get closer to me, once they had seen what kind of person I really was.

I had issues. I wasn't that good of a person, too.

Mungkin terdengar klise dan kacangan, tetapi semuanya sungguh berubah sejak gue mengenal Khailendra Wiratama. Bocah futsal populer, dengan kulit coklatnya, postur sempurnanya, dan rambut coklat gelapnya yang selembut rambut bayi. Nggak lupa tubuhnya yang selalu beraroma deterjen baju bercampur parfum wood. Perpaduan pas antara kehangatan dan maskulinitas.

Dia mengetahui sifat gue yang nggak banget, tapi dia nggak pernah menjauh sekali pun.

Dia membuat hal sesimpel membuka diri - yang dulu gue anggap too much effort atau lebay - menjadi lumrah, seperti seharusnya.

Dengannya, segala sesuatu terasa mudah.

Kami udah saling mengetahui satu sama lain sejak SMP, tapi nggak pernah benar-benar saling mengenal. Gue selalu melihatnya sebagai tipikal bocah banyak gaya, sok keren, dan berpikiran cetek. Dia selalu melihat gue layaknya anak pendiam yang naturalnya nggak bisa bergaul.

Tiba lah hari pertama masuk SMA. Waktu MPLS, gue bisa ingat jelas figur punggungnya yang duduk di kursi depan gue, memakai blazer biru tua kegedean. Dia sibuk ketawa sama teman-temannya, Andra, Chakra, Baba, dan sebangsanya. Berkali-kali matanya melirik gue, dan jelas gue terganggu.

Tiga hari berlalu dengan gue yang habis-habisan berusaha menahan kesal karena terus menerus dicuri pandang. Hingga akhirnya gue memberanikan diri untuk bertanya, "Ada apa sih?"

Kai tampak kaget. "Nggak..."

"Ada yang salah sama gue?"

Dia menggeleng pelan.

"Kenapa ngeliat gue kayak gitu?"

"Maaf ... gue nggak maksud gimana-gimana."

"Jadi, kenapa?"

"I - itu ... Gue suka buku yang lo baca."

Gue terdiam sebentar. Nih orang baca buku? Demi apa? "Lo suka Rain Chudori?"

"Lumayan. Gue baru baca bukunya yang itu sih." Dia menunjuk Biru dan Kisah-Kisah Lainnya yang tergeletak menganga di hadapan gue dengan anggukan.

feel & fall ⨉ KAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang