0.6: Xanax

84 37 32
                                    

KAI

"Nanya tugas, pasti."

Gue cuma diam, menahan napas yang tercekat di belakang lidah.

"Kok diem?"

Sejujurnya, gue nggak tau mau bilang apa meski banyak sekali kalimat di dalam benak.

"Lo nggak baik-baik aja."

"Mhm," gue terisak. "Boleh ke rumah lo?"

"Sini. Emang pernah gue ga larang?"

Tanpa basa-basi, gue mematikan sambungan telepon, bergegas ke rumah Airi. Dia satu-satunya wajah yang ingin gue lihat sekarang.



///



Pintu kamar mengayun terbuka. Gue mendapati Airi yang terlihat kaget di atas ranjangnya. Tanpa berpikir, gue melempar tas ransel dan blazer biru tua ke sembarang arah, lalu menghambur di sisinya.

"Lo kenapa —"

Gue menginterupsi dengan membenamkan wajah gue di lekuk lehernya. Tubuhnya terasa begitu hangat di balutan lengan gue.

Kedua tangannya balas mendekap kepala gue, sesekali mengelusnya lembut.

"Jangan ditahan, Kai."

Gue menggigit bibir, berharap perasaan sialan ini bisa terusir begitu aja. Tanpa aba-aba, air mata gue udah membasahi kaus kebesarannya.

"Gue tau, pasti dalem hati lo ngutuk diri sendiri sampe kaya gini."

"Bacot," bantah gue di antara isakan.

"Sialan," dia malah tertawa pelan. "Udah, tenang aja. Gue di sini, kok."

Gue berusaha mengatur deru napas yang nggak beraturan dan terasa panas, saat sensasi mati rasa sekonyong-konyong merambat di sekujur lengan kanan dan menghantarkan rasa ngilu di bahu serta dada gue. Tangan gue gemetaran hebat. Dalam situasi seperti ini, nggak aneh penyakit sialan ini kambuh tanpa alasan.

"Shit." Dengan sedikit panik, dia menarik selimut sampai ke atas hidung gue. Gue meringis pelan saat dia berusaha meluruskan lengan gue sambil memijatnya pelan.

Sialan. Penampilan gue benar-benar kayak orang kasihan.

"Jangan terlalu pressure diri lo sendiri, Kai."

Airi tau betapa gue benci keadaan seperti ini. Hal yang sama selalu terjadi setiap kali gue frustrasi, dan Airi selalu setia mendampingi. Entah berapa kali gue mengutuk langkah gue yang nggak mau membawa ke tempat lain. Selalu datang kembali lagi dan lagi ke dalam balutan lengannya.

Selalu kepadanya.

Selalu dengan begitu mudahnya dia merajut ketenangan di tengah kekalutan dalam kepala gue.

Gue juga membenci diri gue sendiri karena setiap berada dalam situasi seperti ini, perasaan itu dengan mudahnya menyeruak kembali, memenuhi lubang-lubang di balik rusuk. Bergema mengalahkan segala riuh yang berkecamuk di benak gue.

feel & fall ⨉ KAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang