AIRI
"Airi, udah siap?!" Mama setengah berteriak dari ruang tamu.
"Sebentar!" Buru-buru gue rapikan helaian rambut yang menjuntai di sisi wajah.
Lexus RX hitam terparkir rapi di depan pagar. Kak Jun udah nggak sabaran menunggu untuk membawa gue dan mama ke tujuan kami hari ini.
"Kebiasaan, siap-siap lama banget," sungut Kak Jun dari kursi pengemudi dengan tatapan menyebalkannya yang khas.
"Protes aja lo," sanggah gue setengah hati.
Padahal, alasan gue menyita banyak waktu pagi ini bukan karena gue dandan. Jelas-jelas gue cuma berpakaian basic nuansa kelabu dengan riasan wajah tipis, sedikit lebih tebal di bawah mata untuk menutupi jejak tangisan setengah jam yang lalu.
Empat puluh menit perjalanan penuh sunyi berlalu. Hamparan tanah luas dengan — kira-kira — seribuan lebih batu nisan terlihat sejauh mata memandang.
"Gue nggak suka tempat ini," ujar Kak Jun di sebelah gue.
"Ya, orang aneh mana yang suka kuburan?"
"I wish I don't hate this day, too."
Gue terdiam sebentar, menelan kembali jawaban asal tadi yang nggak Kak Jun gubris.
"Gue juga."
Hari ini adalah hari ulang tahun dan peringatan kematian Papa. Ya, kepergiannya bertepatan dengan kelahirannya. Itu bukan yang paling buruk. Melainkan gue, Mama, dan Kak Jun mempersiapkan sebuah hadiah spesial untuk hari ini walau nggak yakin papa cukup sadar untuk menghiraukannya. Namun, Papa udah lebih dulu memilih hadiah lain untuk hari spesialnya ini.
Ya, kematiannya sendiri.
Hadiah pilihan kami bertiga tetap menjadi hadiah yang nggak pernah diterima sampai sekarang di sudut lemari baju Mama. Sayang, waktu itu gue cukup yakin Papa akan suka. Tersisa kami dengan Mama yang selamanya berubah, serta Kak Jun dan gue yang terpaksa belajar mendewasa sebelum waktunya.
Kami bertiga berdiri mengelilingi gundukan tanah di mana tubuhnya terbaring dua ratus sentimeter di bawah kaki kami.
Andai gue bisa sungguh memandangnya. Bukannya hamparan rumput dengan kelopak mawar merah dan putih yang terkulai tanpa nyawa pula.
Kak Jun merangkul gue, mengusap bahu gue bermaksud menguatkan. Padahal dia yang butuh untuk dikuatkan saat ini.
Mama berjongkok, membisikkan kata-kata atau doa yang nggak bisa gue dengar.
Gue hanya menatap punggungnya. Seringkali gue merasa bingung ketika melihatnya. Gue selalu bisa merasakan betapa dia menyayangi Papa di saat-saat seperti ini, atau bagaimana otot-otot wajahnya menjadi kaku saat melihat barang-barang yang mengingatkan pada Papa. Dia begitu mencintai papa. Atas dasar apa dia begitu cepat memutuskan untuk menikahi pria yang berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan papa, dan menuntut gue dan Kak Jun untuk menyayanginya?
Gue rasa, gue nggak akan pernah mengerti.
Setelah Mama beranjak untuk bergantian dengan Kak Jun, gue merengkuh mama.
Nggak lama, Jun mengajak bergantian. "Gue nggak mau lama-lama."
Gue berjongkok di samping batu nisan pualam yang hampir sewarna dengan kulit gue. Lantas membacakan sejumlah doa-doa, gue cuma menyambungkan dengan kesunyian. Gue tau, gue akan melanjutkan sisa hari ini dengan mood yang jelek dan uring-uringan. Ya, gue sebegitunya membenci hari ini.
Banyak orang mengunjungi makam sosok yang mereka cintai untuk mengenang sosok yang telah pergi tersebut. Gue sendiri menganggap berziarah adalah cara mengenang terburuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
feel & fall ⨉ KAI
Teen Fictionat times when you feel something so real you get deep in the depths, you don't notice how far you've fallen. ( ) ⚠️ TW ⚠️ - Suicide attempts - Physical, mental, verbal abuse - Mental health issues ( ) #2 kaiyeol #4 chanyeollokal #20 kpopfanfict