0.5: Vulnerability

88 40 47
                                    

KAI

Seperti di SMA-SMA lainnya, sekolah gue mengadakan festival tahunan yang meliputi konser dan macam-macam perlombaan antarsekolah. Persiapan dilakukan matang-matang sejak setahun sebelumnya oleh panitia. Karena gue suka futsal, gue memilih untuk menjadi panitia lomba futsal.

"Sejauh ini udah ada tiga belas tim SMA, dan sebelas tim SMP yang daftar. Masih belom terlalu mendekati targetnya, yaitu tiga puluh tim. Makanya, gue udah kerjasama bareng tim publikasi dan kesenian untuk lebih gencar promosinya. Kita lagi proses koordinasi sama media-media promosi dari sosmed."

Anggota panitia lainnya bertepuk tangan mendengar hasil kerja gue yang hitungannya lumayan cepat. "Keren, Kai! Progress lo lumayan cepat. Semoga bisa nyentuh atau bahkan lebih dari target ya nantinya," puji Baim, ketua event kali ini. "Hm ... Kai terakhir, ya?"

Yang lainnya mengangguk.

"Oke, kalo gitu rapat hari ini gue tutup. Jangan lupa, sekarang udah H-38, cuma sebulan lebih sampe hari-H. Makasih, semua!"

Seisi ruangan rapat dibubarkan. Gue menghampiri Chakra yang masih berkumpul dengan Dio dan Rafa.

"Rafa, jangan lupa kasih format surat permohonannya ke Mina ya."

"Siap, Kai."

"Oi, Kai." Chakra menepuk pantat gue. "Abis ini kemana?"

Gue mengedik, "nggak tau. Mau cek Temon dulu?"

Temon adalah singkatan Tempat Monyet, semacam warung di belakang sekolah. Cowok-cowok, terkadang cewek juga suka ngumpul di situ. Tiga tahun sekolah di sini gue nggak pernah tau siapa yang kasih nama Tempat Monyet, tapi gue tebak alasannya adalah lukisan monyet menyeramkan di sekujur temboknya.

"Ya udah, yuk. Dio ikut, kan?"

"Nggak dulu. Ada privat hari ini."

"Bentar doang elah, Yo! Telat dikit nggak apa-apa, kali," bujuk Chakra.

"Nggak, ah. Gue nggak seburuk lo pada."

"Cih, sombongnya selangit," cibir gue.

"Bacot amat. Dah, duluan."

///

Temon nggak seramai hari-hari lain, hanya ada beberapa anak cowok duduk di dalam sambil memakan cemilan dan menghisap rokok. Melihat Andra yang juga ada di sana bersama Ghian, gue mengernyit.

"Woi, Dra!" Gue duduk di sebelahnya. "Ngapain di sini?"

"Nggak boleh?"

"Bukan gitu, goblok. Bukannya tadi pagi lo bilang mau jalan sama Airi?"

Andra cengo, "Airi? Ngapain gue jalan berdua sama Airi?"

Gue menepuk mulut sendiri, "Hara, maksud gue Hara! Kok, jadi Airi, ya?"

"Kayaknya, udah berapa tahun lo selalu kayak gitu. Masih suka sama Airi mah jujur aja."

"Jangan ngadi-ngadi, jawab pertanyaan gue."

Dia menghembuskan asap rokok dari hidungnya. "Gue nggak jadi jalan sama dia."

"Karena?"

"Dia yang batalin. Katanya mau jenguk Omnya yang sakit, tapi dia lupa kalo gue masih masuk close friends Instagramnya. Taunya, nge-story lagi jalan sama cowok yang waktu itu."

"Hah?" Dahi gue berkerut. "Ngapain pake bohong segala, deh, dia?"

"Ya, makanya itu. Tadinya gue kepikiran, kenapa harus bohong segala? Padahal, kalo dia cerita tentang cowok lain, gue ngga pernah gimana-gimana banget. Tapi, yah, gue emang bukan siapa-siapanya juga. Mungkin dia emang nggak mau sama gue juga."

feel & fall ⨉ KAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang