XLII.i

210 28 7
                                    

Flashback on.

Malam yang kacau. Dewa teringat pertama kali ia marah besar ketika Emy memutuskan untuk pergi karena perbuatannya sendiri dan Aksa. Dan yang kedua adalah malam ketika Aksa dengan menjadikan Laura bagian rencana balas dendamnya. Terlebih lagi kekecewaan Laura yang tak bisa dibendung dengan sebuah penjelasan dan maaf. Sia-sia. Dewa gundah dan gelisah. Luka yang belum mengering lantas membuat semua staff kafe heran dengan apa yang sudah terjadi. Juna menjadi sasaran paling tak terelakkan. Menjadi pihak yang paling pertama tahu biang kekacauan Dewa saat ini.

Pada malamnya, tiba-tiba Tiar menelepon. Mengajaknya untuk bertemu. Kepalanya terasa mau pecah. Kenapa semua orang seolah ingin mengeroyoknya secara bergantian? Kenapa tidak pada waktu bersamaan saja? Mau sampai kapan? Bahkan dengan menatap Laura saja rasanya seperti melalui 5 pertarungan. Dewa mending beradu otot daripada beradu mata dengan Laura.

Tidak butuh waktu lama, Tiar mendatangi kafenya. Pria itu lekat dengan sepatu kets, kaos putih, ransel, dan jaket yang sengaja ia lepas hingga menampakkan tattoo besar di lengannya. Wajahnya sayu, sorotnya teduh, tapi ketika matanya menangkap keberadaan Dewa itu seakan ingin membunuhnya di tempat. Dewa mengajak Tiar pergi ke ruangan agar lebih leluasa untuk berbicara.

"Kok Aksa bisa ngerti Laura?" nadanya meninggi sesaat mereka berdua sampai di ruangan itu. Dewa mencelos kalimat itu lepas begitu saja dari mulut Tiar yang selalu sarkas padanya.

"Kok lo ngerti Aksa?" Dewa masih sukar percaya.

Tiar menggeleng, "Kerabat jauhnya Ayana. Dia tadi dateng ke kantor."

"FUCK!" umpat Dewa. Ia gusar sampai mondar mandir hingga menjambak rambutnya sendiri. Tiar malah menghembuskan napas berat sambil berkacak pinggang. Melihat Dewa kebingungan.

"Gue dikasih tau Hanung kronologi sewaktu di mall. Tau gitu gue juga ikut ngehajar dia tadi. brengsek!"

Dewa makin frustasi. "Mereka ngomong apaan?"

"Mana gue tau. Aksa narik Laura agak ngejauh pas dia dihajar habis-habisan sama Laura." Jelasnya.

Dewa melotot. "Laura? Ngehajar Aksa?" Tiar mengiyakan itu.

"Dia aja ke kantor sama bawa bunga, yaa meskipun ujung-ujungnya masuk tempat sampah." Tiar melihat sekeliling sebal. "Mana Hanung ceritanya pas Aksa udah cabut." Tiar melempar ranselnya sambil menggerutu gemas lalu menduduki sofa di depannya. "Anjing emang!"

"Gue dicancel sama dia." Keluh Dewa.

"Alah, biarin dulu." Tiar menyandarkan kepalanya. "Kalo Laura luluh, Hanung bakalan ikut luluh."

"Laura ngamuk sama gue." Dewa ikut duduk di sofa depan Tiar.

Terdiam beberapa saat, kedua pria itu tenggelem dalam pikiran dan memenuhinya dengan Laura. "Jelas lah ngamuk. Dia tuh mana bisa nggak tau apapun. Pokok harus tau." Ujarnya. "Apalagi itu nyangkut soal orang yang dia sayang." Pria itu mendongak ke atas. "Sesakit apapun, lo harus kasih tau dia. Kalo lo telat kasih tau dan dia diem, tandanya dia udah kecewa." Lanjutnya. "Kalo dia sampai marah, berarti lo kebangetan."

Damn, batin Dewa.

"Jadi yang mana?" tanyanya.

"Dua-duanya."

"Mampus."

Mereka bungkam sejenak. Tiar mengeluarkan rokok dari tasnya, menyulut, lalu menyesapnya. Tak lupa menawarkan pada Dewa. Ia pikir akan ditolak tapi ternyata diambil juga. Keduanya masih diam menikmati nikotin dan terhipnotis dengan kepulan asap yang mengudara. Seraya otak kembali berputar-putar layaknya asap yang keluar dari mulut keduanya.

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang