IX

309 50 11
                                    

Melamun, menikmati kepulan asap melayang di udara menjadi rutinitas barunya tiap malam. Ia sudah tak tau berapa kotak rokok yang ia habiskan hari ini. Mungkin 5 atau 7? Sebanyak itu bahkan masih tak meredakan rasa gundah dan pusingnya. 

Menatap nanar layar hp menampakkan wajah Laura dan dirinya. Teringat beberapa waktu yang lalu, waktu yang mereka nikmati bersama. Senyum dan tawa mereka. Tidak ada yang tahu betapa indahnya perasaan mereka selain keduanya.

Berbagi kata demi kata, pelukan demi pelukan, hingga sisa waktu malam. Tetap saja, orang-orang menggunjing jika mereka sudah bertaruh pada hal yang tak pasti. Namun semua itu bukanlah omong kosong atau perasaan semu. Tidak, semuanya begitu nyata bagi keduanya, perasaan yang terlalu nyata hingga mereka tidak bisa menahan lagi rasa sakitnya. Patah hati terbesar dalam hidup keduanya.

Tiar tersenyum kecut kala mengingat sosok pria yang selalu menempel dengan Laura tadi siang. Belum lagi, pikirannya melayang pada pertemuannya dengan ayah Laura, Pak Damar. Sosok pria bijak kebanggaan Laura yang dengan baik hati menyetujui ajakan Tiar untuk bertemu.

"Jangan tersinggung, saya mengajak kamu bertemu disini. Kamu tau kalo Laura pulang kan?" ujar beliau yang ia temui di salah satu restoran keluarga di kawasan dekat rumah Laura.

Tiar hanya mengangguk dengan raut penuh sesal, "Iya om, saya mengerti."

Pak Damar menghela nafas setelah menyeruput teh hangat, "Saya tau bagaimana perasaan kamu dengan Laura. Mungkin Laura juga sama. Hanya saja anak itu begitu tertutup setelah pulang" Tiar hanya mendengarkan dengan seksama.

"Ibu bingung, kita semua bingung. kami lebih baik mendengar dia meraung-raung daripada diam. Kamu pasti tau karakter dia kan?" lanjutnya lagi.

Tiar masih menunduk, berusaha bersikap sopan karna tragedi ini murni salahnya, "Iya om" Jujur Tiar juga takut, melihat Laura yang memilih diam jika marah atau bersedih. Dia tak membiarkan satu orangpun merasakan emosinya. 

Pak Damar berdecak lirih, lalu menyenderkan punggungnya di kursi, "Jadi, tujuan kamu bertemu dengan saya apa Tiar?" katanya masih tenang, air wajahnya sungguh ramah namum tampak kecewa.

Tiar mencoba memberanikan diri membalas tatapan beliau, bersiap meluncurkan kata-katanya. "Saya tidak bisa jika bukan dengan Laura om."

Tatapan Damar menelisik Tiar, mencari keseriusan pria yang menjalin hubungan dengan anak bungsunya. Pak Damar terlihat jauh lebih posesif dengan tindakan Tiar selanjutnya. Ia tak ingin Laura justru menderita di sisa hidupnya. Anak gadis yang ia rawat, didik, dan jaga, tidak akan semudah itu setelah pria dihadapannya memilih bungkam perihal rencana orang tuanya dan memilih menyembunyikan Laura sedari awal. 

Pak Damar mencondongkan tubuhnya mendekati meja, menautkan kedua telapak tangannya menatap Tiar jauh lebih serius dan Tiar tak gentar akan hal itu, "Begini nak Tiar, masalahnya disini bukanlah Laura tapi keluarga kamu" satu serangan dari beliau.

"Iya om, saya tahu. Saya bermaksud untuk memulai kembali dengan Laura. Mengenalkan Laura dengan keluarga saya, hingga waktu yang tak lama juga saya ingin meminang Laura." tenggorokannya tercekat saat ia akan melanjutkan kalimatnya, ia memaksa dirinya sendiri untuk melontarkan kata demi kata yang sudah ia persiapkan tadi, "Saya ingin om merestui maksud saya. Saya tau, kami berdua terlihat kacau saat ini. Maka dari itu, biarkan saya bertanggung jawab atas rasa sakit yang Laura rasakan."

Pak Damar tertegun mendengar kata-kata Tiar, kemudian tersenyum dan terkekeh kecil. "Kamu tau disini yang bermasalah juga siapa Tiar, saya tidak mau melepas anak saya untuk pria yang masih belum bisa menghadapi rasa takutnya sendiri."

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang