Sorry, Nin !

151 8 1
                                    

Surabaya benar benar membuat Anin banyak banyak istighfar. Jam kantor yang selesai pada jam 4 sore, nyatanya membuat Anin sampai di restoran hampir jam 5.

Macet pagi sebab tak ingin terlambat kerja dan sekolah, tak berbeda jauh dengan kondisi sore hari. Jalanan bak semut yang merayap, manusia seakan berlomba untuk segera pulang dan melepas penat di rumah.

Restoran cukup ramai di jam seperti ini. Dan Athaya belum nampak. Padahal ia yang ingin membahas semuanya, tapi nyatanya ia yang paling ngaret.

Pasta dan orange juice sudah Anin pesan. Masa bodo lah dengan Athaya! Menembus kemacetan Surabaya membuat perutnya berdemo sedari tadi.

"Kenapa ngga nunggu saya dulu?  Udah pesan juga!" Seru lelaki dengan kemeja kusut tanpa jasnya itu.

"Yang seharusnya ngomel itu saya kali, Bapak ngajak discuss tapi ngga on time tau! Ya terus saya laper, pesan makan lah!" Balas Anin tak terima.

Ia cukup dongkol sedari tadi. Mulai sulitnya mencari ojol, bersabar dengan macetnya Kota Pahlawan, lalu dengan ngaretnya seorang Athaya.

"Macet. Mobil saya ngga bisa salip menyalip kalo kamu mau tau." Jawabnya lalu beralih pada pelayan untuk memesan makanan untuk dirinya.

"Yang ngerasain macet itu bukan Bapak aja kali. Saya juga! Masa udah ngajak, ngga on time pula!"

"Asal kamu tau ya, ngomel ngomel di depan makanan itu ngga baik. Ngomel mu di pending deh! Saya juga mau makan. Setelah itu, kita discuss! " Putus Athaya setelah makanan dia tersaji di meja makan.

"Iya ya. Minta maaf aja susah amat!" Dumel Anin yang benar benar diuji kesabaran (lagi).

"Hm."

Untung bos!

~~~~~

Lelah. Satu kata yang mewakili seorang Athaya hari ini. Pergolakan antara fisik dan batinnya benar benar membuat ia lelah lahir batin.

Tentang pekerjaan, ia bisa handle dengan mudah. Namun hatinya sedari tadi siang berkecamuk tak menentu.

Bayangan Anin tertawa bersama seorang pria, dan ekspresi Anin dongkol ketika bertemu dengannya sore tadi mengganggu pikiran Athaya.

Fisiknya menuntut istirahat. Tapi otaknya menuntut untuk selalu berpikir tiada henti. Athaya tak pernah main main dengan khitbahnya, juga termasuk perasaan Athaya untuk Anin. Anin akan menjadi seorang wanita yang taat saat jam bekerja, namun saat di luar itu, Athaya seperti menemukan sisi nyaman bersama seorang wanita yang sangat hobi membuatnya naik darah itu.

"Woi. Ngelamun mulu lo! Di telponin ngga dijawab. Pesan gue cuma centang satu doang! Bae lo?" Suara Amar bagai toa di rumah Athaya yang damai.

"Tau tuh! Dari siang juga ngga enak banget tuh muka. Dah lah, kayak cewek PMS aja dia Mar!"
Sahut Miko yang tanpa permisi mengambil soda dalam kulkas rumah Athaya.

"Orang bertamu tuh salam dulu. Masuk pake permisi atau gimana, lha lo pada?" Sinis Athaya.

Bukan tanpa alasan, pernah Amar dan Miko bertamu ke rumah Athaya saat sang Mama tengah berada di rumah. Apesnya mereka berdua di beri pencerahan hampir satu jam, tentang etika bertamu, sopan santun, dan lainnya.

"Ah elah. Gue tadi dah salam di hati. Ya lo nya kan ngga kedengeran! Gimana sih lo Ta?" Seru Amar setelah minum soda sodoran Miko.

"Au ah. Gue nya yang punya IQ kurang, atau emang lo yang ngga  ngotak Mar?!" Sinis Athaya balik.

Sementara Miko sudah bergelut pada PS di ruang tengah rumah Athaya. Athaya selepas merampungkan tugas kantornya, memilih ke ruang tengah untuk sekedar nobar bola. Merilekskan otaknya dari berbagai rasa penat.

Eh, bukan rileks yang di dapat, malah melamun dan sialnya dipergoki oleh dua sohibnya.

"Nah. Sensinya kumat. Lo nih kebanyakan kerja tau Ta! Kurang piknik! Kuy lah piknik, biar otak lu ngga nge hang. Takutnya malah meledak!"

Amar dengan segala otak minusnya!

"Gue bukan bocah TK lo suruh piknik ya! Udah lah, ngapain sih lo pada ke rumah gue? Ngga ada jam di rumah lo pada?" Sinis Athaya.

"Buset! Lo ngusir kita Ta? Aelah, gue sama si Miko nih baek loh. Nemenin bos Dirgantara yang lagi kesepian tiada tara. Apalagi sekarang malam Sabtu. Tau gue mah, yang jomblo gimana nasibnya!"

Amar sinting!
Ngomong kok ngga di filter sama sekali! Kan Athaya jadi ke sindir!

"Temen laknat banget ya lo Mar! Bener banget! Whahahahah.." Bukan Athaya, tapi Miko yang berkata yang langsung dihadiahi lemparan bantal dari Athaya.

"Lo itu ngga ngaca apa gimana sih Ko? Lo juga jomblo kali! Ngetawain diri sendiri apa gimana?" Mulut Athaya memang sangat tajam. Baru di asah siang tadi.

Gatal mencaci orang!

"Buset! Lo kok tahan ya Ko sama nih bocah satu! Beuh, omongannya kayak mak mak komplek!" Sahut Amar setelah puas tertawa dengan Miko.

"Tahan aja gue mah. Kuping gue kebal asal lo tau Mar!" Seru Miko yang beralih duduk di sofa setelah bosan dengan permainan PS nya. Bagaimana tidak? Obrolan mencaci Athaya lebih seru dari pada PS.

Teman laknat, bukan?

"Gini deh ya. Lo ngga capek gitu seharian? Gue aja capek, apalagi denger segala pujian lo." Balas Athaya yang kini beralih pada layar HP nya.

Tampak ia men scroll sedari tadi. Lebih tepatnya, pada salah satu ruang chat nya dengan seseorang.

"Malah gue ada niatan buat nginep Ta! Sebelum gue married. Lha tau tuh si Miko!" Dagu Amar menunjuk Miko di seberangnya.

"Gue mah juga pengin nginep. Males masak! Males keluarin duit juga!" Sahut Miko dengan tubuh telentang pada salah satu sofa. Mulai memejamkan mata.

Mari kita lihat, tak lama ia akan tertidur dengan suara ngorok atau tidak?

"Nih rumah ya, bukan restoran kakek moyang lo Ko? Main makan seenak.. Eh anjir, malah molor dia!" Seru Athaya tak percaya pada sahabat sekaligus asistennya ini.

"Udah sih. Gue langsung ke kamar aja ya Ta! Sakit banget nih pinggang gue!" Sambar Amar yang langsung berlalu ke kamar tamu lantai satu rumahnya.

Ini rumah lho! Bukan penginapan gratis! Main nyelonong, ngga ada permisi! Untung temen!

Fokus Athaya masih pada benda pipihnya. Ragu mengetik membuatnya galau setengah mati. Rasa bersalahnya sore tadi pada Anin, terus bersarang di otaknya.

Sorry ya!
Klo udh liat nih chat,
Bales Nin!

22.35

To be Continued.

Ada kritik, typo, or tanggapan langsung komen ya!

Terima kasih yang sudah berkenan membaca:)



(Un)predictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang