Kamu ilusi?

120 7 0
                                    

Tak banyak yang dilakukan Anin di rumah Athaya. Ia hanya membantu Bi Inggid menyiapkan makan siang. Memasak memang sudah jadi hal biasa untuk Anin.

Kesibukan Athaya di ruang kerja memang sungguh tak terkira. Sabtu lho ini. Libur kan? Tapi tidak berlaku untuk Athaya yang menjadi pimpinan perusahaan.

Selepas memasak, Anin memutuskan untuk pulang saja. Lagipula untuk apa juga ia di sini.

Menemani Athaya sampai selesai bekerja? Jangan harap!

Atau menjadi teman ngobrol untuk Athaya yang sibuk dengan ketikannya? Big No!

Akhirnya Anin pulang, tanpa pamit dengan Athaya tentu saja. Bukan apa, hanya saja terlalu aneh. Ia tidak ada niat bertamu, hanya dipaksa bertamu.

Siang Surabaya memang paling subhanallah. Panas tiada tanding, dan macet tiada tara.

Tiba tiba saja motor ojol yang ia tumpangi serasa oleng tak menentu. Berhenti pada bahu jalan.

Tampak ojol tersebut bingung, "Haduh Mba, ini motor saya bocor bannya. Saya mesti cari tukang tambal ban ini Mba."

Anin terkejut bukan main. Pasalnya, ini masih jauh dari tempat tinggalnya. Dan uang cash dalam dompet sedang darurat. Hanya pas untuk membayar ojol ini,

Lalu bagaimana ia bisa pulang?

Dan dipastikan pula, ia tidak bisa menjemput Nami di stasiun. Lebih baik, Anin mengabari sang adik. Untuk tidak menunggu jemputannya, dan mengabari posisinya.

Demi mendapat kiriman ojol.

"Saya turun di sini saja Pak. Ini uang ongkosnya." Uluran uang Anin berikan.

"Maaf ya Mba. Tapi ini kebanyakan. Saya ambil separuh saja, toh mba nya juga belum sampai tujuan." Ragu ojol itu.

Anin malah lebih tidak tega jika hanya membayar setengah. Membayangkan upah ojol ini masih setengah hari, malah ludes untuk sekedar menambal ban.

"Nggak apa apa Pak. Ini buat bapak. Kan sudah hak bapak. Sekali lagi, terima kasih ya Pak. Semoga dapat tempat tambal bannya deket." Balas Anin tersenyum ramah.

Bapak itu mengulum senyum. Dan berkata, "Alhamdulillah, saya yang terima kasih. Kalau begitu, saya duluan ya Mba. Assalamualaikum."

"Iya Pak. Waalaikumsalam."

Berdiri di bawah terik panas yang tak terhalang mendung memang jarang Anin nikmati. Hari harinya, selalu ia habiskan di bawah tempat pendingin ruangan.

Menyorot pilu, para manusia yang banting tulang di tengah sorotan matahari yang sangat terik.

"Hai. Anin ya? Maaf ya, buat kamu nunggu lama."

Deg

Suara itu? Sangat Anin kenal.

•••

Sore Kota Malang memang tak diragukan lagi hawa sejuknya. Setelah diguyur hujam hampir 2 jam lamanya, membuat Anin terjebak di halte MAN. Ia menunggui bis yang akan mengantarnya pulang.

Tapi tak kunjung datang.

Anin suka hujan. Tapi kalau begini ceritanya, bagaimana ia bisa pulang?

Menelpon ayahnya? Sekolah Anin tak mengizinkan membawa ponsel selama sekolah.

Kabut kian tebal. Mendung pun tak beralih menjadi cerah. Hujan turun tanpa ampun.

Memaksa manusia untuk berhenti dari aktivitas di jalanannya.

Mengeluh tak akan berbuah hasil, lebih baik ia berdoa. Hujan turun, salah satu waktu pas untuk melangitkan doa, bukan?

"Hai Nin. Kenapa nunggu di sini? Seragam mu jadi basah tuh!"

"Hehehe, iya Bay. Aku kira cuma gerimis biasa. Eh malah tambah deres aja."

Laki laki tinggi itu hanya tersenyum. Lalu duduk di sebelah Anin.

"Kamu sendiri kok bisa di sini juga? Ngga bawa motor?" Tanya Anin penasaran.

Bayu pecinta otomotif. Dan sudah jadi rahasia umum, jika Bayu memiliki koleksi motor bahkan punya usaha bengkel.

Ya. Hal yang buat Anin suka, Bayu pekerja keras.

"Bawa Nin. Tadi niatnya nerobos ujan. Kok tambah jadi, ya neduh di sini. Sekalian nemenin kamu buat jadi temen ngobrol."

Dan Bayu baik.

Anin tertegun dengan jawaban pria tetangga kelasnya ini.

"Aku mah udah biasa sendiri begini Bay. Hampir 3 tahun. Cuma takutnya, langit udah mulai gelap."

Jam menunjukkan angka 17.20. Anin takut, dan pasti membuat orang tuanya cemas.

"Saking mandirinya itu sih Nin. Kita searah kan? Mau pulang bareng aku?"

Bayu tersenyum manis. Senyum yang dua tahun lalu menjadi awal kagumnya Anin pada sosok lelaki ini.

"Boleh memang?"

"Dengan senang hati, Nin."

Anin mengangguk setuju. Kembali menatap hujan. Ia berterima kasih kali ini.

Doanya mendapat jawaban, luar biasa manis dan berkesan di hati Anin.

•••

Dia kembali?

Setelah janjinya yang hampir membuat Anin menyerah. Lalu hampir kosong di telan harapan. Dan mengikis ruang di hatinya tentang nama lelaki ini.

Mengapa baru sekarang?

Saat ia dan Athaya tengah saling berusaha?


To be Continued.

Hadir lagi. Di gantung janji, dan tak ada niat menepati. Lalu dengan seenak jidat, ia kembali lagi?

Apakah kamu pernah sama merasakan? Atau hanya aku saja nih?

Bisa share about your story. Mungkin sama atau ada yang lebih pedih? Uh!

(Un)predictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang