Yakin?

136 6 0
                                    

Anin POV

Minggu pagi yang cukup mendung ini, aku dan Athaya menuju ke Malang. Sedari tadi semenjak dia sampai di depan kost ku, dia mendesak ku untuk naik paralayang.

Aku memang tak ada phobia ketinggian. Tapi karena tak pernah naik, overthingking sudah merajai pikiranku.

"Kalau ngga dicoba, ya mana tau rasanya. Lagian ada aku." Ujar Athaya sambil fokus mengemudi di jalan tol.

Aku menatap dia malas. Sangat malas, "Kamu naik sendiri, nanti aku tunggu di bawah. Lagian aku ngga penasaran amat sih sama rasanya."

Mobil berhenti di rest area. Entah dia mau apa.

"Kenapa berhenti?" Tanyaku setelah melihat dia hanya duduk saja.

"Ngomong serius sama kamu. Kamu ada phobia?"

Aku menggeleng, "Udah overthingking duluan, Ta. Kalau itunya ada masalah, atau ngga angin yang ngga... "

"Ada aku, Anin. Ngga mau lihat Malang dari atas? Mumpung cuaca bagus."

Aku menyipit curiga, "Kamu kok kesannya maksa banget sih. Lagian kamu kalau naik, ya pasti aku tunggu."

Dia menghadapku sepenuhnya, "Ngga usah curiga ga jelas. Ya kapan lagi gitu loh ke Malang. Mumpung nanti lewat tempatnya. Ya sekalian kan bisa."

"Ya akunya yang ngga bisa. Eh bukan deh, nggak mau. Udah ayok jalan, keburu siang, Ta."

Setelah mengatakan itu, aku sebenarnya cukup merasa bersalah. Dia tampak banyak diam, sesekali menyahut saja.

Aku sudah menyusun rencana dalam otak ku. Tidak mungkin juga harus gagal.

Hampir berkendara selama dua jam dengan jalanan yang macet sana sini, kami sampai di rumah minimalis nuansa hijau banget. Tumbuhan sana sini. Adem.

"Siang amat. Biasanya pagi kalau ngga sekalian sore lo Ta?" Sapa Mas Okan setelah sempat basa basi di depan pintu tadi.

Athaya mengedikkan bahu, "Pagi siang atau sore juga sama aja, macet Kan. Mana si Nana?"

Mas Okan menunjuk dapur yang masih terlihat dari ruang tamu ini.

"Eh Anin tadi ya namanya? Kok bisa betah sih sama Atha? Irit ngomong gini." Mas Okan lalu tertawa dan Athaya yang melempar bantal sofa.

Aku tersenyum, "Ga tau juga sih Mas. Baru kenal juga, selain irit ngomong apalagi Mas?"

Tak lama Mba Nana datang dengan nampan berisi minum dan snack.

"Kadang judes. Tukang perintah juga, Nin. Apalagi Yang?" Jawaban Mba Nana yang bertanya balik pada Mas Okan.

Athaya melempar bantal sofa lagi pada Mas Okan yang nampaknya akan buka aib.

"Diem lo Kan. Kesini jauh jauh malah ghibahin gue." Kesal Athaya yang langsung meneguk orange juice nya.

Aku menatap malas pada Athaya.

"Kasih tahu ga Nin? Gue diancem nih." Balas Mas Okan dengan ekspresi ternistakan.

Aku tertawa, "Bukan ghibah. Kan Mas Okan sama Mba Nana lagi cerita tentang kamu ke aku, Ta."

Athaya mendengus sebal. Dan terdengar tangisan bayi, membuat Mba Nana kembali ke salah satu kamar yang tepat berada di lantai satu.

"Galak. Tapi perhatian dia, Nin. Calon lo itu, idolanya waktu kuliah dulu. Beuh, anak fakultas mana yang ngga tau sama Athaya. Terkenal dia dulu."

Mas Okan satu kampus dengan Athaya memang. Hanya beda jurusan dan angkatan saja. Lalu dari situlah, Mas Okan bisa kenal bahkan sampai menikah dengan Mba Nana.

Campus in love.

"Udah deh diem, Kan. Inget jasa gue di masa lalu, ya!"

Dan terdengarlah gelak tawa Mas Okan. Kami tidak lama, hampir dua jam kami pamit pulang.

Aku bilang ke Atha untuk pulang ke rumah ku sebentar. Menengok keluargaku, dan Athaya setuju saja. Malah dia yang berinisiatif membeli Sate daging dan ayam yang tak lain favorit ayah dan ibu.

"Dua puluh ribu cukup kali, Ta. Ya masa lima puluh ribu. Banyak amat, bos!" Keluh ku saat kami hampir sampai di rumah.

"Ini pertama kali aku beli buat orang rumah. Ya ngga apa apa, Nin. Lagian yang suka sate, itu banyak! Ayok turun."

Aku baru sadar, setelah melihat Ayah yang sibuk dengan pot di depan rumah.

"Kenapa ngga bilang kalau mau pulang? Ibu kamu lagi di rumah Bulek Tiam. Anaknya mau nikah besok. Jadi ikut bantu masak, Mba." Sapa Ayah setelah memeluk ku dan bersalaman dengan Athaya.

"Dadakan juga kok Yah. Nami di rumah? Minggu loh ini."

Biasanya anak itu selalu sibuk. Weekend kadang melancong ke Bromo atau pantai.

"Masuk ayo. Nami tadi pagi ke Pantai apa tadi ya, Mba? Ehm, Ngliyep deh kayaknya. Sama temen kelasnya."

Kami bertiga duduk di sofa ruang tamu. Aku sibuk membuka bungkusan sate setelah mengambil wadah dari dapur.

"Nak Athaya baik? Hampir sebulan ngga ketemu, makin kurusan ya?" Kelakar Ayah yang hanya disahuti anggukan saja dari Athaya.

"Kantor lagi ribet Om. Jadi rada telat makan aja sih. Kurusan gini jadinya."

Ayah menepuk paha kiri Athaya pelan, "Masih ganteng tapi. Yang penting sehat aja. Makan itu wajib, Nak. Minta Anin aja buat masakin. Biar ada manfaatnya buat kamu."

Aku mencubit tangan ayah, "Sembarangan. Kok Anin sih? Athaya emang gitu, kudu di ingetin dulu Yah baru inget makan."

"Ya tugas kamu kan kalau gitu. Sebelum ke tahap serius nya."

Omongan Ayah membuat gerakan ku menata sate ke beberapa piring terhenti. Aku sudah yakin. Dan harus segera ku sampaikan pada Atahaya. Secepatnya.

To be Continued.

Wow, belum dijawab nih sama Anin 😑

Kejutan apa sih kira kira?
Ada yang bisa nebak?

Sedikit cerita, aku ga pernah naik paralayang. Kayak takut gitu, terbang dan ngelihat ke bawah itu kayak horor gitu.

Ada yg sama kayak aku? Pdhl ga ada phobia sama sekali. 🙄
Padahal seru loh, mungkin :)

See u in next chapter ❤

Komen, vote, and follow my accout! 😋

(Un)predictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang