Athaya Pusing

199 16 0
                                    

Sangat dekat
Terlampau dekat
Lalu lupa,
Penghalangnya terlalu tinggi
Sangat tinggi digapai
Tak lama,
Kita sama sama jatuh
Dan tak bisa bersama

~~~~~

Anin terlonjak. Ia mengerjap sebentar, lalu mulai mundur. Jujur, ia sangat gugup.

"Kalau begitu saya pamit keluar dulu Pak. Sudah jam kerja sekarang. Sekali lagi, mohon maaf untuk kejadian malam kemarin. Dan terima kasih untuk ini." Ucapan kilat Anin yang lagi lagi menatap ubin sebagai lawan bicaranya.

Terdengar helaan napas dari Athaya. Ia juga mulai mengalihkan pandangan, sebab sedari tadi tatapan itu fokus menatap gadis dengan pakaian tunik bermotif di depannya ini.

"Saya terima permintaan maaf kamu. Tapi, kurangi sikap kamu yang mudah banget ambil kesimpulan sendiri seperti kemarin. Untung korbannya saya!" Decak sebalnya masih terasa sekali.

"Iya Pak. Maaf sekali. Terima kasih atas pengertiannya, saya pamit keluar. Assalamualaikum." Pamit Anin yang langsung tancap gas keluar dari ruangan singa yang hampir mengamuk. Atau memang sudah mengamuk.

Ah sudahlah, lupakan. Nyawa Anin semoga masih panjang sebagai karyawan di sini.

Azizah yang sudah nyaman dengan layar komputernya, terusik dengan acara jalan cepat versi Anin.

"Hati hati kesandung Nin. Kamu ngga di kejar setan kan?" Tanya Azizah yang ternyata sudah di dahului Mas Bian.

Anin sejenak mengatur napas ngos-ngosannya. Seperti habis marathon saja.

"Hampir diamuk singa Mas. Singa jantannya galak banget." Kilah Anin.

Sontak ruangan satu divisi itu tertawa. Mendengar candaan konyol Anin.

Mana ada singa di kantor?

"Efek ngga makan siang gitu ya Nin? Aku kira, ngelindur omongan gara gara ngga tidur aja. Eh ini ada lagi." Azizah menyahuti setelah ia pegal tertawa.

"Singa apaan masuk kantor Nin? Ada ada aja kamu mah." Mba Safa ikut nimbrung.

"Becanda itu tadi. Abis liat orang galak maksudnya. Galaknya sampai buat orang mati gaya." Sahut Anin agar semakin tak salah paham.

Efek ketemu bos galak! Mau bilang gitu, tapi Anin masih sayang karir.

Pekerjaan Anin selesai tepat waktu hari ini. Ia menengok kotal bekal yang belum sempat ia makan, bahkan sesendok pun.

Dapat ceramah gratis, sampai lupa nasib perut!

~~~

Athaya sampai rumah jam 5 sore. Perjalanan kantor hingga rumah yang ditemani senja di ufuk barat. Tanpa gerimis, apalagi hujan seperti sore
kemarin.

"Bibi kok masak banyak banget? Biasanya juga ngga segini banyak bi?" Bingung Athaya melihat berbagai lauk tersaji di atas meja makan.

"Eh, Den Atha sudah pulang. Iya, Bibi masak banyak kan ada tamu yang bakal nginap di sini Den. Jadi, ya begini deh. Lauknya banyak." Jawab Bi Inggid seraya mulai menata rapi piring di atas meja.

Athaya tampak berkerut bingung. Tak ada kabar apapun, terlebih orang yang akan menginap di rumahnya kali ini.

"Siapa Bi?" Singkat sekali. Irit bicara mode on.

"Halo Kakak! Nggak ngeh banget,  itu kan makanan kesukaannya Mama. Ish kamu mah."

Suara dari arah belakang sontak membuat Athaya terkejut. Lantas ia menoleh, dan mendapati sang Mama tengah berdiri seakan menyambut kedatangan anak bungsunya itu.

"Masyaallah Ma. Kenapa ngga ngabarin kalau mau ke sini sih? Kan bisa Atha jemput di Bandara. Siapa yang jemput Mama?" Deretan tanya terlontar setelah mendekap orang yang lebih dari setengah tahun tak ia jumpai.

"Bawelnya mulai deh. Satu satu dong Kak! Ini lepas dulu. Engap Mama, kamu kalau meluk erat banget tau." Lalu pelukan itu lepas dan Athaya mendapat jeweran telinga dadakan pula.

"Auh. Mama ini gimana sih? Pelukan minta dilepas, ini malah jewer telinga! Sakit atuh Ma." Athaya mengelus jeweran telinga kanannya yang cukup sakit. Tapi dia rindu.

"Kamu itu udah di kasih tahu kan sama Mama, jangan terlalu sibuk kerja. Masa kata Bibi, tiap hari pulang malam terus. Ngapain aja sih Kak?"

Mereka berdua kini tengah duduk berdampingan pada sofa di ruang keluarga. Meninggalkan Bi Inggid yang hanya senyum senyum sendiri.

"Kakak kerja kali Ma. Emang mau ngapain lagi coba?"

"Cari calon istri mungkin. Atau emang udah ada ya? Terus kamu ngga ngasih tahu? Iya kak?"

Mulai deh, bahasan ini lagi.

"Kakak kan pacarannya sama laptop Ma. Kalau kencannya sama berkas seambrek. Terus capek, pulang deh." Athaya asal jawab.

Padahal lawan bicaranya ini sangat gemas dengan berbagai alasan, jika yang topik pembicaraan bersangkutan pada Menikah.

"Mama ngga kaget sama jawaban kamu. Malah Mama seneng, sesuai prediksinya Mama." Ujar Dayu-Mama Athaya ini.

"Tumben banget. Ngga ada sanggahan atau penolakan gitu? Langsung seneng, bikin Atha curiga aja Ma." Jawab Athaya bingung, seraya mulai makan cemilan di atas meja dekat sofa.

"Emang kamu ngga bosen, respon Mama itu itu aja. Mau ketawa sama jawaban kamu kok udah bosen aja ya Kak?" Keluhan yang teramat biasa terlontar dari mulut manis Dayu.

"Mama nyuruh aku cepet nikah, lah Kak Arin aja juga belum nikah. Mama emang mau, aku ngeduluin Kak Arin?" Goda Athaya. Yang digoda tampak datar saja tuh.

"Kakakmu itu, dua bulan lagi nikah. Maunya Mama ya, kamu itu juga nikah setelah Arin. Umur udah ngga muda, pekerjaan juga udah mapan. Masa iya ngga ada yang nyangkut Kak?"

"Mama kira apaan nyangkut? Lagian Atha belum ketemu sama yang cocok kali Ma." Kilah Athaya sambil ngecek email yang mulai mengalihkan atensinya dari omongan sang Mama.

"Terserah kamu aja lah Kak. Ayo ah makan dulu."

"Mama duluan. Atha ngecek email bentaran."

Dayu beranjak dari sofa, sementara Athaya masih berkecamuk dengan obrolan pasal Menikah.

Kalau belum ketemu doi, emang mesti maksa ke siapa coba?

To be Continued.



(Un)predictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang