Aku yang kala itu sudah memasuki kelas 4 SD, setelah melepas seragam ku, dan pergi keruang makan, aku menceritakan hal yang terjadi di sekolah.
"Pah, Pramuka kan sudah mau mulai, aku harus ikut, karena itu wajib, jadi penilaian masuk raport" Mengambil makan siang ku di atas meja
"Ya udah terserah, ikutin aja" Ucap papah, sambil membereskan barangnya.
Jadi Papa itu sedang kerja, namun saat aku pulang sekolah dia akan menjemput ku lalu kembali ke kantornya.
"Papah, aku mau ikut jadi tim inti Pramuka boleh?"
"Ikut aja, kalau kamu sanggup dan ga kecapean" What a sweet dad, right?
"Iyaa ga cape, lagi pula tim inti sama kayak yang lain, latihannya juga di hari yang sama. Tapi bedanya aku pulangnya lebih lama dari yang lain" Jelas ku sambil menyuap sesendok nasi dari piring.
"Yakin kamu ikut? Kamu kan cepat bosan, paling baru sebentar keluar. Tapi terserah" Tanpa menoleh kearahku, beliau sangat sibuk dengan barangnya.
Entah kenapa, aku gasuka kata itu --terserah-- Kenapa beliau suka menyebut itu? Padahal kata itu tidak ada dikamus ku -pada awalnya- karena tidak ada kepastian didalam kata itu.
"Makanannya dihabisin, papa balik ke kantor, nanti sore mama pulang, papa akan lembur. Kamu jangan nakal, denger apa yang mba Dewi bilang" Aku hanya menggangguk, dan dia mencium pucuk kepalaku, hampir menyedot ubun-ubunku rupanya. Canda ubun-ubun
Oke papa udah pergi, tinggal aku, adik, sama mba dewi. Pada saat itu, awalnya aku bingung, mba Dewi tuh siapa. Trus keinget, ternyata dia pengasuhku. Maaf mba Dewi, kinerja kerjamu tidak terlalu signifikan didepan mata saya, makannya saya bingung emangnya kamu ada? Tapi gapapa mba, kamu yang terbaik.Sorenya, mama pulang. Ternyata beliau tidak sendiri, melainkan bersama gandenganya. Iyaa tugas-tugas beliau dikantor dibawa pulang, ditaro di tas jinjing, lalu digandeng. Mamaku bucin btw, jadi doi setia
Aku tidak tahu kenapa beliau suka melakukan itu, padahal dirumah juga ngga dikerjain, cuma dibawa doang, besok saa berangkat kerja, tugas tugas laknat itu, beliau bawa lagi ke kantor.
Disini, aku mencoba mengatakan hal yang sama kepada beliau, namun beliau juga berkata hal yang sama -terserah-
"Ma, jadi aku boleh apa ngga?" Ucapku, hampir dehidrasi, frustadi maksudnya.
"Kamu udahh tanya papah, yaudah ikuti kata dia, mama bilang "iya" kalau dia bilang tidak sama aja boong kan, kak? Kamu tau kan papa itu bagaimana?" Ditanya malah nanya balik. Udah gitu tidak memberi solusi. Keren sekali keluarga ini ya Allah. Cinta banget pokoknya.
"Papa bilang terserah. Trus gimana?" Mencoba mencari kepastian
"Yaudah ikutin aja"
Resign jadi anak ajalah, pintu keluar sebelah mana?
Aku? Ya nyerah lah. Bukan berarti patah semangat, tapi hancur sudah semangatnya. Karna besoknya saat ku tanya lagi, jawabannya sama. Sampai seminggu depan, mereka sangat istiqomah pada jawaban itu.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, sebuah makan malam berlangsung, namun hari masih sore. Dan aku menyampaikan kabar gembira, ya gembiranya di aku doang maksudnya. Sebelum mengatakannya, aku sudah menyiapkan hati, agar tidak rusak lagi."Pah, 3 minggu lagi ada kemah, itu di lapangan gede yang deket mall. Lapangan Larakan. Yang kalau papa berangkat kerja suka lewatin. Aku mau ikut boleh ga?" Tarik napas, dan bersiap merasakan potek.
"Dimana? Kapan? Siapa aja? Berapa hari? Bayarannya?" Perhatian untuk hati, siap patah dengan mendalam
"Di Lapangan Larakan, yang biasa dipake buat kemah juga katanya. 3 minggu lagi acaranya, dari hari jumat. Kan perjusami. Yang ikut ada guru sama pembina. Untuk bayaran gaada, udah ditanggung sekolah katanya. Enak pah, kita udah disediain makan juga. Jadi yang penting kita bawa diri aja, sama beberapa hal."
"Ohh disana, papah dulu semasa sekolah juga kemah disana" Aku menunggu kelanjutanmu pah "Tapi disana berbahaya, banyak aneh-aneh penjaganya, gabener ini, papah kenal penjaganya. Kesana ga bawa apa-apa? Pramuka kok dimanja, papa dulu ga gitu pramukanya panci aja bawa masing-masing, kalian makan aja ditanggung sekolah, papa dulu masak sendiri. Lagian kamu ngapain sih ikut beginian, itu acaranya udah sebentar lagi lho, ka. Masa gada surat edaran, atau setidaknya orangtua murid tuh ditanya persetujuanny, ini ngga ada. Kemaren mama kamu rapat gada bahas kemah, kenapa sekarang tiba-tiba ada. Kamu alesan doang kan biar bisa main di mall deket situ? Akal-akalan kamu aja ini mah." Gatau pokoknya sedih digituin tapi setidaknya ga dibandingin sama anak tetangga. Tapi tetep aja sedih." Itu yang kemah satu sekolah?" Tanyanya
"Kurang tau kalau itu, katanya kelas 1-5 doang yang ikut kelas 6 ujian, nanti surat edarannya ada kok, besok disebar katanya" Jawabku udah mulai malas "Kok bisa gatau, trus dapet info darimana kamu? Pembina kamu, guru kamu juga kan? Kalian kalau bener itu jalan semua 5 kelas, murid sebanyak itu, ditempat seperti itu, dengan jumlah guru yang tidak memadai, dan anggaran dibiayai sekolah? Gamasuk akal. Ngga boleh" Dewasa ini aku sadar, emang itu hal aneh. Tapi disaat usiaku saat itu, ntah kenapa itu bikin sedih. Setidaknya, apakah mereka tidak ingin sabar sebntar sampai edaran itu terbit?
Mungkin kalian bingung "ruang" itu dimana, sudut itu yang mana, dan diagonal mana yang ku bahas. Disinilah aku, kamar tidur ku. Aku merasa ini adalah "kandang" bagiku, karna tidak banyak hal yang bisa dilakukan. Bagai burung dalam sangkar. Malam itu, ruangan ini lah yang menjadi saksi betapa pedihnya ketika kata itu terlontar.
Kamu alesan doang kan biar bisa main di mall deket situ? Akal-akalan kamu aja ini mah. Kalimat ini terus terbayang sepanjang malam. Masa kecilku sudah jarang tidur cepat, overthinking sejak kecil, huft.Esoknya, semua anak membahas kemah, apa yang ingin dibawa, ingin setenda dengan siapa, mau bawa cemilan apa aja, trus janjian mau ada kunjungan tenda kalau ternyata satu geng harus misah tenda, atau minta tuker tenda.
Aku iri aku bilang. Iyaa mereka dengan mudah ya dapet kepercayaan, aku? Yaudahlah, kemah doang, nanti SMP harus ikut kemah pokoknya. Tekadku kala itu.
Seminggu berlalu, akhirnya edaran tiba. Dan disana tercantum sudah, yang ikut hanya siswa kelas 3 dan 4. Namun tetap tanpa bayaran. Diedaran tertulis, ada pendampingan oleh kakak-kakak pembina dan beberapa guru. Namun dirasa masih kurang untuk kepercayaan mereka. Hingga permintaan tetap ditolak.
Hari hari terus berjalan, waktu berkemah pun sudah depan mata, namun jawaban tetap bulat. Tidak boleh, ini tidak masuk akal. Sampai hari H, siswa-siswi kelas 3 dan 4 yang tidak ikut diliburkan, jadi aku pergi ke pasar nganter mama, dan tidak sengaja lewat depan sekolah.Kalian tahu apa yang kulihat, btw disaat yang bersamaan sedih itu muncul, nyesek banget. Ternyata seluruh murid yang tidak diikut sertakan kemah diliburkan, karena hampir semua guru dan staf TU ikut kemah. Depan sekolah ramai dengan truk besar dengan isi tenda dan perlengkapan lainnya. Murid-murid terlihat aman dan senang mereka memasuki bus yang mengantar mereka ke Lapangan Larakan. Dan satu hal lagi, mereka yang akan masuk tim inti, dilantik disana pada hari yang sama. Tapi sampai hari itu berlalu, kenyataan dan bukti sudah depan mata. Jawaban mereka sama. Ini tidak masuk akal. Dan aku disuruh ikhlas dan sabar, biar nanti yang kedepannya aku bisa ikut. Ava kecil pun terluka.
Tuan ruang, kamu menemaniku lagi. Terimakasih. Setidaknya dindingmu yang berdiri tegak ini menutup diriku yang sangat sedih kala itu, yang kehilangan dua keinginan sekaligus. Dan benar saja dihari pertama aku akan memberitahu berita ini, aku akan patah. Ibarat pohon, aku sedang menggugurkan daunku saat ini, sampai nanti aku akan kembali memunculkan daun baru, dan lebat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Dinding
RandomKisah hidup Ava, yang "tertutup" oleh dinding. Sampai suatu hari, dia berada dititik lemah, dan tak tentu arah. Kosong. Dimana akhirnya semua orang makin menyudutkan bahwa dirinya yang bersalah. "Mungkin perjalananku kalut, tapi sungguh aku percaya...